BAB 1: PERJALANAN YANG TAK BISA KULUPAKAN
Chapter 1: Keputusan di Ujung Malam
Angin malam Palopo menghembus lembut ke wajahku saat aku berdiri di depan rumah sederhana kami. Lampu jalan yang remang-remang membuat bayanganku tampak goyah di tanah. Ibu masih terjaga di balik pintu, matanya merah menahan tangis. Aku tahu ia berusaha kuat. Seperti biasanya, beliau tidak pernah menunjukkan kesedihan secara terang-terangan, terutama di hadapan adik-adikku yang sudah tertidur pulas.
Aku—Kelvin, anak pertama dari enam bersaudara—akan merantau ke Gowa untuk melanjutkan pendidikan. Di usia 17 tahun, keputusan ini bukan hanya tentang masa depan pribadi, tapi tentang nasib keluarga kami. Tanpa sosok ayah sejak aku kecil, aku terbiasa menjadi penopang dalam diam. Dan malam ini, aku siap meninggalkan kenyamanan demi perjuangan.
“Ibu, doakan Kelvin, ya...” bisikku pelan.
Ibu hanya mengangguk. Tak ada pelukan, tak ada air mata tumpah. Tapi tatapannya memuat semua yang tak terucap: cinta, harapan, dan ketakutan.
---
Chapter 2: Bus Menuju Harapan
Terminal Palopo tidak seramai biasanya. Hanya beberapa penumpang yang duduk menunggu keberangkatan. Aku duduk di pojok bangku kayu, memeluk tas lusuh yang berisi dua stel pakaian, sepasang sepatu, dan buku catatan kecil peninggalan ayah.
Bus jurusan Gowa akhirnya datang, warnanya kusam, dan tubuhnya berderit saat berhenti. Aku naik dengan langkah pelan, mencoba mengabadikan momen ini di dalam kepala. Kursiku berada di dekat jendela. Dari sana aku bisa melihat perlahan-lahan kota yang membesarkanku menghilang dari pandangan.
Perjalanan memakan waktu panjang. Di sela-sela tidur ayamku, aku membayangkan apa yang akan aku hadapi nanti di Gowa. Apakah tempat tinggalnya layak? Apakah aku bisa menyesuaikan diri? Apakah aku mampu bertahan?
Yang pasti, tidak ada jalan kembali. Aku harus berhasil.
---
Chapter 3: Langkah Pertama di Kota Orang
Pagi buta, bus tiba di terminal Gowa. Kabut masih menyelimuti udara, dingin menembus jaket tipisku. Aku turun dengan langkah canggung, mencoba mencari arah ke pondok pesantren tempatku akan tinggal dan belajar. Itu adalah satu-satunya tempat yang kutahu menerima siswa dari luar kota dengan biaya ringan, bahkan gratis bagi yang berprestasi.
Dengan bantuan Google Maps dan tanya sana-sini, akhirnya aku tiba di sebuah kompleks sederhana. Bangunannya tua, tetapi bersih. Beberapa santri tampak baru bangun, bersiap-siap untuk subuh berjamaah.
Aku berdiri di depan gerbang, menarik napas panjang. Ini bukan hanya tempat baru. Ini awal dari hidup baru. Sebagai seorang anak pertama yang merantau sendirian tanpa ayah, aku akan membuktikan bahwa aku bisa membawa harapan keluarga ini melampaui batas-batas yang pernah kami kenal.