bc

Lukaku, Kehilangan Anakku!

book_age18+
6
FOLLOW
1K
READ
opposites attract
single mother
tragedy
affair
like
intro-logo
Blurb

Permainan yang di mainkan oleh suamiku itu, telah merenggut nyawa anakku. Ibu mana yang dapat bersabar? Tidak ada! Maka aku akan menuntut balas.

chap-preview
Free preview
1
"Bundaaaaaa...." Jeritan terakhir anak sulungku yang masih jelas terngiang di telinga ku sampai sekarang. Kata pertama yang aku ajarkan padanya semasa bayi dulu. Sebuah kata yang walaupun dengan susah payah di ucapkan putraku, tapi ia tetap mampu mengucapkannya seiring bertambahnya usianya. Kini tubuh mungilnya tengah terlelap dibawah gundukan tanah dengan taburan bunga diatasnya. Andai saja siang itu aku tidak turut serta membawanya, dia pasti masih ada disini. Menemaniku. Penyesalan yang aku rasakan sudah tidak ada artinya lagi. Aku hanya bisa bersabar dan berusaha untuk berdamai dengan takdir yang telah Tuhan berikan untukku. Aku berharap anak laki-laki kebanggan ku dapat menjadi syafaat yang akan menolong ku di hari akhir nanti. Inshaa Allah. *** Siang itu aku berniat pergi ke supermarket untuk belanja keperluan rumah tangga bulanan yang sudah menipis. Karena ART yang biasa ku titipi sementara anak-anakku selama aku berbelanja sedang pulang kampung, akhirnya aku pun turut serta membawa anak sulungku, sedangkan si bungsu aku titipkan ke rumah orang tuaku yang rumah nya bersebelahan dengan tempat tinggal ku ini. Sudah dapat ku bayangkan bagaimana repot nya aku nanti ketika harus memutari supermarket dengan menggandeng tangan si sulung yang sedang aktif-aktifnya sembari menggendong si bungsu, andai saja aku turut membawa kedua anakku. Maka, aku memilih untuk mengajak salah satunya saja agar tidak terlalu merepotkan diriku sendiri. Setelah selesai dengan segala urusan perumah-tanggaan di rumah yang ku kerjakan seorang diri, aku pun segera mengajak anak sulungku untuk segera bersiap. Ku arahkan dia untuk mengganti pakaiannya terlebih dulu, dan berhias seadanya sesuai dengan usianya yang baru menginjak umur 7 tahun. Setelahnya aku menitipkan anak bungsu ku ke rumah orang tua ku dan berpesan agar orang tua ku tidak memberikan si bungsu makanan manis seperti permen atau coklat karena giginya yang sudah mulai gupis. "Kakak pakai sepatunya, terus tunggu di depan ya. Bunda mau antar adek dulu ke tempat Simbah." Ucap ku kepada si sulung yang memang sudah mengerti apa yang di ucapkan oleh bundanya. Tak ada jawaban apapun, sulung ku hanya menganggukkan kepala dan berlalu menuju ke rak sepatu yang ada di dekat pintu depan. Dia mengambil sepatu yang ingin di pakai, kemudian memakainya secara mandiri. Sepertinya anak sulungku memang sudah tidak terlalu membutuhkan peran bundanya, dan hal itu sedikit menyentil hatiku yang tiba-tiba terasa melow. Setelah menitipkan si bungsu, aku bergegas mengambil kunci mobil dan mengajak sulung ku untuk Segera masuk ke dalam mobil. Perlahan kendaraan beroda empat ini bergerak mundur meninggalkan pekarangan rumah yang belum memiliki pagar ini. Beberapa menit kemudian, mobil yang ku kendarai ini sudah berbaur dengan pengendara lainnya di jalan raya. Tak butuh waktu lama kami pun sudah sampai di sebuah supermarket ternama di kota kami. Supermarket yang hanya ada satu-satunya, dan juga terbesar yang ada di kota kami ini. Jangan tanya di kota mana kami berada, karena yang pasti bukan di pinggiran kota metropolitan. Aku memarkirkan mobil di dekat pintu masuk gedung mall agar mudah saat nanti pulang membawa banyak barang. Ku ingat-ingat blok parkir yang tertulis di setiap tiang yang ada di area parkir ini, agar mudah saat nanti mencari keberadaan mobil ini ketika mau pulang nanti. Setidaknya itulah ajaran yang di ajarkan oleh suamiku setiap kali kami memasuki area parkir mall. Sederhana sekali bukan? *** Tempat pertama yang kami kunjungi di mall ini adalah sebuah tempat untuk berbelanja beragam kebutuhan pokok berinisial H. Aku mengambil troli dan mulai mengitari supermarket tersebut dengan perlahan sambil mengingat-ingat barang apa saja yang stoknya sudah menipis atau bahkan kosong di rumah. "Bunda, kakak mau itu." Ucap sulung ku sembari menunjuk ke arah coklat yang berjejer rapi di atas rak besar. "Kakak lupa ya yang dikatakan ibu guru disekolah?" Balasku yang mencoba untuk memberikan pengertian melalui pertanyaan untuk sulung ku. "Ingat bunda." Jawabnya singkat saja yang sontak membuat ku mengulas kan senyuman tipis. "Apa coba?" Aku kembali bertanya pada sulung ku yang tampaknya sudah mulai bisa di berikan pengertian. "Kita ngga boleh banyak makan coklat, nanti giginya rusak. Apalagi kalau tidak sikat gigi sehabis makan dan mau tidur nanti giginya jadi sarang kuman, terus bolong, abis itu jadi sakit gigi." Jawabnya panjang lebar yang semakin membuat ku kagum pada anak laki-laki kebanggaan ku ini. "Nah, kalau gitu kita beli yang lain saja ya." Balasku yang masih berusaha membujuk sulungku itu. "Ngga mau, Bunda. Kakak nanti langsung sikat gigi sehabis makan itu, boleh ya Bun, sekali ini aja Bun plis." Balas sulung ku yang malah balik merayuku sembari mengatupkan kedua tangannya di depan d**a. Baiklah, mungkin kali ini kesabaran ku akan lebih di uji lagi melalui anak sulung ku ini. Kita lihat pertarungan ini, siapakah yang akan menang, bunda atau si sulung? "Kakak kok ngga mau dengerin apa kata Bunda sih?" Balas ku dengan nada bicaraku yang mulai sedikit lebih tinggi. "Kakak mau itu Bunda, pokoknya kakak mau itu." Ucap sulung ku lagi dengan rengekan yang mulai memekakkan telinga. Kesal? Tentu saja. Tapi aku tidak ingin terlihat kalah di hadapan sulung ku. Tanpa ku hiraukan rengekannya yang mulai membuat ku naik darah, langsung saja aku mendorong trolly belanjaan ku menjauhi rak besar yang berisikan berbagai makanan manis itu. Ku tinggalkan rak besar itu beserta si sulung yang rengekannya mulai menarik perhatian orang-orang di sekitarku. "Bunda, kakak mau itu Bun." Lanjut sulung ku yang rupanya belum menyerah untuk mendapat apa yang dia inginkan, sembari menarik-narik bajuku agar kembali menuju ke tempat makanan manis itu berada. Tapi, aku tetap kekeh pada pendirian ku, bahwa aku tidak akan membelikannya. Ku abaikan saja tatapan sinis orang-orang yang menjadikan kami sebagai objek tontonan mereka. Aku lebih peduli pada kesehatan anakku daripada pendapat orang lain yang sama sekali tidak berpengaruh pada kehidupan kami. Inilah caraku mendidik anak-anakku. Ku biarkan saja sulungku menangis sepanjang kami mendorong troli ini. Ia harus terbiasa menerima penolakan semacam ini dan belajar bahwa tidak semua keinginannya harus dituruti terus-menerus. "Bunda." Panggil sulung ku setelah dia sedikit lebih tenang, tidak seperti sebelumnya. "Apa kak?" Jawabku yang akhirnya tak tega membiarkan sulungku berlaku seperti ini. "Kakak lapar. Kita makan ayam goreng disitu ya, boleh ngga bin?." Ucapnya dengan sorot mata pilu sambil tangannya menunjuk sebuah restoran siap saji tak jauh dari tempat kami berdiri. Kress! Tiba-tiba rasa bersalah muncul dalam hatiku, dan aku sedikit menyesal karena tidak mau mewujudkan keinginan anakku. Apalah artinya sebuah coklat? Tapi, sisi rasional ku berkata bahwa tidak mengapa anakku sekarang menangis karena tidak mendapatkan coklat, dari pada besok dia menangis karena giginya yang bermasalah. Dan aku sangat menyetujui pemikiran rasional ku itu. "Iya, boleh. Tapi kakak harus janji dulu sama Bunda ngga boleh bersikap kaya tadi lagi ya." Aku memberikan penawaran padanya yang sontak langsung di jawab dengan anggukan kepala olehnya. "Yaudah kakak temenin bunda belanja dulu ya, sebentar lagi aja, nanti setelah selesai baru kita makan siang di situ, oke?" Sambung ku lagi padanya untuk menenangkan hati anak sulung ku yang baru saja terluka karena sikap ku tadi. "Iya bunda." Jawabnya mantap sembari mengacungkan jari kelingkingnya padaku dan bibirnya yang sudah bisa menyunggingkan sebuah senyuman manis. Aku hanya bisa tersenyum melihat kelakuan polos anak sulungku ini. Aku berharap semoga Sulung ku bisa selalu menjadi kebanggaan ku. "Maafkan bunda ya, Nak." gumam ku dalam hati yang sedikit merasa nelangsa. *** Aku mengecek kembali barang-barang apa saja yang sudah terbeli, dan apa yang terlupakan. Aku tidak ingin kalau harus bolak-balik belanja karena sudah pasti akan boros tenaga dan waktu. Setelah dirasa semua keperluan rumah tangga ku sudah lengkap dan masuk ke dalam trolly, aku pun mengajak sulung ku untuk berjalan menuju kasir bersama-sama, karena aku tidak mengizinkan anakku terlalu jauh dari pengawasan ku. Selesai melakukan transaksi, kami berdua keluar dari toko berinisial H dengan tak lupa membawa serta belanjaan yang ternyata lumayan banyak. Lalu, kami berjalan beriringan sembari mendorong troli menuju ke salah satu restoran cepat saji berlogo huruf M. Sesuai janji ku tadi, aku pun mengajak anak sulung ku untuk makan siang terlebih dahulu di restoran ini sebagai tanda permintaan maaf ku. "Semoga kamu ngga marah sama bunda ya kak atas perlakuan bunda tadi." Ucap ku dalam hati sambil menatap sendu ke arah putra sulung ku. ... Bersambung...

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Her Triplet Alphas

read
7.0M
bc

The Heartless Alpha

read
1.5M
bc

My Professor Is My Alpha Mate

read
470.3K
bc

The Guardian Wolf and her Alpha Mate

read
513.2K
bc

The Perfect Luna

read
4.1M
bc

The Billionaire CEO's Runaway Wife

read
609.5K
bc

Their Bullied and Broken Mate

read
470.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook