bc

Lemah Teles (Soca Ludira)

book_age16+
521
FOLLOW
2.9K
READ
reincarnation/transmigration
time-travel
powerful
tragedy
mystery
highschool
mythology
supernature earth
horror
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Namaku Lintang Ayu Shakara Maharani, lahir di malam 1 suro 2002 silam yang bertepatan dengan perayaan merti desa atau ruwatan desa yang setiap tahun diadakan sebagai tolak bala agar terhindar dari marabahaya. Aku yang terlahir di saat gerhana bulan total terjadi membawa ibuku dalam kematian saat melahirkanku.

Setiap tahun bertepatan dengan hari kelahiranku, selalu saja ada yang meninggal secara mendadak dan mengenaskan, hingga warga menjauhkan anak mereka dariku, karena mereka percaya aku adalah pembawa sial dan malapetaka di desaku.

Beruntung. Bulik Dar telah merawat dan melindungiku dari marabahaya yang mengancam nyawaku. Hingga membuatku terpaksa menikah dengan seorang pria dari dimensi lain.

Banyak hal aneh yang dipertontonkan di hadapanku, dari kejadian banaspati di kuburan angker, bayi bajang di sumur tua, cincin penghisap darah dan berbagai kejadian lainnya yang hampir saja meminta nyawaku sebagai gantinya.

Sanggupkah aku hidup di antara roh gentayangan? Ataukah aku akan menjadi seperti mereka?

chap-preview
Free preview
Tulah
Namaku Lintang Ayu Shakara Maharani, seorang mahasiswi di salah satu universitas ternama di kota Solo. Sebagai anak yang terlahir dengan membawa karma dari orangtua, aku harus menjadi seorang cenayang yang mau tidak mau hidupku akan berurusan dengan hantu dan makhluk gaib lainnya. Semua itu karena aku memiliki tiga pusara di rambut yang membentuk segitiga. Sering kali mendengar desas-desus yang diberitakan oleh para warga, bahwa aku terkena kutukan Jaka Lelana. Kelahiranku yang dianggap pembawa sial bagi mereka, membuat para orang tua yang memiliki anak seusiaku melarang anak-anak mereka untuk bermain bersama denganku. Jangankan mendekat, menatapku saja mereka tak diizinkan. Menurut pendapat warga, tatapanku mengandung tulah, karena itulah semua mereka lakukan agar anak mereka selamat dan tidak menjadi tumbal karena kesalahan kedua orangtuaku yang melanggar adat istiadat. Larangan menikah yang sudah dipatuhi oleh warga secara turun temurun telah dilanggar oleh kedua orangtuaku yang berakibat ibuku meninggal saat melahirkanku. Karena itulah aku terlahir dengan karma yang telah dibuat oleh kedua mereka. Padahal baik desa kelahiran ibu maupun ayah yang hanya terpisah sungai telah membuat aturan larangan menikah, tapi entah kenapa mereka berdua masih saja melanggarnya. Sementara larangan menikah untuk kedua desa tersebut sudah jelas tertera di sebuah batu yang diyakini adalah batu wingit dengan sebuah papan yang bertuliskan, ‘Desa Wiru dengan Desa Cangkiran adalah saudara tua dan muda.’ Setiap tahunnya para warga selalu mengadakan acara merti desa atau ruwatan desa dengan menyeberangi sungai Wates pada malam satu suro penanggalan Jawa. Iring-iringan para warga dari Desa Wiru yang membawa aneka tumpengan hasil alam berupa buah-buahan dan sayur mayur yang dibuat gunungan akan diarak warga dengan menyeberangi sungai, kemudian hasil bumi yang diarak tersebut diserahkan kepada tetua Desa Cangkiran untuk dilarungkan di sungai, lalu malam harinya pun acara wayangan di gelar tiap tahunnya di Desa Cangkiran, sedangkan do Desa Wiru mengadakan acara reog. Selain untuk mengucapkan puji dan syukur kepada Sang Khalik acara ruwatan desa ini berlangsung agar kedua desa terhindar dari wabah, pagebluk, dan musibah akibat dari sumpah yang diucapkan oleh Jaka Lelana sang pendiri Desa Wiru. “Suatu saat jika ada anak terlahir dari darah Desa Wiru dan rahim dari Desa Cangkiran di sertai dengan munculnya gerhana bulan. Ingatlah saat itu aku akan datang untuk menuntut balas.” Aku terlahir di saat malam ruwatan tahun 2002 silam, kabar kelahiranku pun terdengar hingga ke desa Cangkiran tempat di mana ibuku dibesarkan. Semua warga sangat ketakutan hingga tak ada satu pun warga yang datang melayat ke rumah ibuku. Menurut cerita Bulik, aku terlahir dalam keadaan ibu sudah meninggal sebelum aku dilahirkan. Menurut cerita warga, gerhana bulan di malam menjelang kelahiranku adalah pertanda buruk bagi mereka semua, bahkan aku dikabarkan oleh mereka telah membunuh ibu, 3 jam sebelum aku dipaksa dilahirkan. Tak hanya itu, ayahku pun dikabarkan pernah hampir membunuhku, karena hal ini lah hingga saat ini aku tidak pernah bertemu dengan ayah. Beliau pergi sejak aku dilahirkan di dunia ini. Rasa bersalah terhadap ibu, dan cemooh para warga membuat Ayah pergi. Bulik Darmastuti, adalah seorang cenayang sekaligus adik kandung ayah, karena itulah beliau memberiku nama Lintang Ayu Shakara Maharani yang artinya Putri pembawa cahaya keberuntungan. Beliau mengadopsi sejak bayi karena melihat auraku yang terlalu kelam dan selalu diikuti oleh roh jahat, yang kata beliau selalu menginginkan nyawaku. Di bawah perlindungan Bulik Dar, hidupku seperti layaknya anak kecil lainnya bisa bermain walaupun hanya sendiri. Semenjak aku lahir, setiap tahunnya di tanggal dan bulan yang sama saat acara ruwatan berlangsung, selalu saja ada yang meninggal dengan mendadak dan mengenaskan. Wabah itu melanda dua desa yang terkena kutukan, hingga membuatku menjadi anak yang minder dengan segala kekuranganku saat itu. Banyak yang bilang, seharusnya yang mati itu aku, tapi karena aku bisa bertahan hidup maka mereka, lah, yang menjadi penggantiku. "Nyawa di ganti dengan Nyawa!" Keberuntungan itu hanya sebentar saja, setelah aku menstruasi tepatnya di usiaku yang ke-10, tiba-tiba saja mata ajna yang aku miliki terbuka. Sebuah peristiwa yang mengerikan tersaji di depan mata. Semua yang meninggal di malam ruwatan itu, rohnya menghampiriku dan menuntut balas atas kematian mereka. “Bersembunyilah! Jangan pernah keluar sekalipun ada yang meminta. Ingat kamu harus menunggu bulik yang membukanya!” perintah Bulik yang membuatku penasaran dengan apa yang terjadi. Sebagai seorang anak berusia 10 tahun kala itu, aku hanya bisa menurut semua perkataan Bulik, sekali pun di luar sana terdengar gaduh, sedikit pun tak ada keberanian untuk keluar. Sayup-sayup terdengar suara, aku pun terbangun dan melihat cahaya putih yang memasuki celah lemari tempatku bersembunyi. Suara seseorang membuka panel pintu yang terkunci terdengar begitu jelas membuatku memeluk erat lutut yang sedari semalam aku peluk. Perlahan aku mendongakkan kepala tepat ketika pintu itu terbuka. Dengan napas yang tersengal-sengal Bulik Dar tersenyum meskipun terlihat jelas dari raut wajahnya yang pucat, sayu dan hidungnya mengeluarkan darah merah pekat menjelaskan bahwa telah terjadi sesuatu semalam. “Jangan takut! Ayo, sekarang kita pergi!” ucap Bulik Dar dengan meraih tangan kanan membawaku lari. Menyusuri jalan berbatuan, dengan napas yang tersengal-sengal Bulik membawaku dalam gendongannya ke sebuah padepokan yang tak jauh dari desa, untuk bertemu dengan seseorang yang katanya bisa membantuku lari dari kejaran roh jahat. Setibanya di sana terlihat seorang pria mengenakan pakaian serba hitam dengan ketu di kepalanya. Bulik memanggilku dan pria itu menatap wajahku sambil sesekali ia memejamkan mata. Entah apa yang mereka bicarakan aku hanya mendengar bahwa aku tidak akan bisa hidup lebih dari dua puluh tahun dan sebagai penangkalnya aku harus menikah untuk menarik semua energi negatif yang ada di tubuhku. Sontak saja aku menangis. Sebagai anak kecil, aku memang tidak paham dengan apa yang bicarakan. Hanya saja mendengar kata ‘menikah’ sudah membuatku merinding ketakutan, hingga Bulik menatapku lalu berbicara. “Lintang, Bulik akan mencarikan kakak laki-laki untuk menjagamu. Sekarang kamu ikuti perkataan Bulik, tunggulah di luar!” perintah Bulik Dar yang aku jawab dengan anggukan. Tak selang berapa lama, pria yang sedari tadi di panggil bulik dengan sebutan Wentira memanggilku. “Lintang ingat pesan Wentira, ya. penutup mata ini jangan pernah kamu buang. Ini untuk melindungimu agar tidak ada orang jahat yang mengganggumu,” ucap Wentira dengan menuliskan sebuah aksara Jawa pada selembar kain yang biasa orang sebut dengan rajah. Wentira melipat kain tersebut hingga menjadi kecil dan membuatnya seperti penutup mata dan beberapa biji-bijian yang telah dikeringkan, ia rangkai seperti hiasan sebelum akhirnya diberikan kepadaku. “Kamu harus kuat, karena nasib kamu ada di tangan kamu sendiri bukan di tangan orang lain. Ini penangkal yang harus kamu bawa dan taruh di rambutmu,” ucapnya sembari mengambil hiasan di rambutku. “Rambut ini harus kamu ikat terus dan apabila rambut kamu tergerai kamu kenakan jimat ini untuk menutupi mata kiri kamu.” “Maksud Wentira, Lintang harus mengikat rambutnya terus! Memangnya ada apa?” tanya bulik. “Pusara rambut anak ini ada tiga dan membentuk segitiga. Dia harus menutupnya dengan cara mengikat rambut agar pusara itu tertutup dengan jimat ini. Tapi, jika dia ingin menggeraikan rambutnya dia harus mengenakan penutup mata ini. Enam dari tujuh Cakra Lintang telah aktif, tapi lemah karena Cakra mahkota dia memiliki tiga pusara yang menyebabkan energi Lintang bisa memprovokasi para hantu, dengan energi yang kuat untuk mengganggu. Sementara mata kiri Lintang terhubung dengan mata Ajna yang harus di tutupi dengan rajah penangkal yang aku berikan. Dia harus mengenakan penjepit rambut ini.” Wentira menjelaskan dengan detail yang sebenarnya aku pun tidak paham dengan apa yang dia bahas. Namun, aku bisa memahami garis besar maksud dari ucapan Wentira saat itu. “Dia harus mengaktifkan Cakra Swadhistana agar bisa melanjutkan hidupnya tanpa harus menanggung karma pendahulunya.” “Tapi dia masih kecil, Wentira? Sedangkan Cakra itu akan aktif jika dia melakukan hubungan suami istri dengan pernikahan yang syah.” Bulik berkata sembari menguncir rambutku dan memberikan penjepit berbentuk topi kecil dengan jimat yang sudah diberi perekat. “Anak ini tidak bisa menikah dengan yang lain. Hanya bersama Mahesa Soca Ludira dia bisa selamat, karena selain karma, tiga pusara dan mata kiri, lintang juga terlahir sebagai bahu Laweyan.” Bahu Laweyan? Istilah aneh yang lagi-lagi tidak aku mengerti. “Kamu harus ikuti perintah kami, nduk? Agar kamu bisa hidup normal seperti anak yang lainnya,” ucap Bulik yang mungkin melihat raut wajahku yang bingung. Sepulang dari padepokan Bulik merapikan kembali rumahnya yang semalam porak poranda karena serangan arwah gentayangan yang menginginkan nyawaku. Teras rumah yang tadinya banyak jimat pun jatuh berserakan di lantai. Setelah beberapa menit membantu, beliau memberikan perintah untuk membawakan bawang merah, cabai, kain putih polos dan sebuah kotak berwarna merah yang Bulik simpan di lemari kamarnya. “Bulik ini barangnya.” Kain putih itu pun diletakkan di meja dan beliau segera menulis sebuah aksara dan gambaran di kainnya. Lalu, beliau membuka kotak tersebut yang terlihat dari penangkapan indra penglihatanku, benda itu seperti taring. Bulik menaruh di atasnya bawang merah dan cabai serta beberapa serbuk dan wewangian yang aku sendiri tidak tahu itu apa. Seperti membungkus lontong, Bulik memendam benda itu ke dalam tanah tepat di pintu masuk rumah. Sementara di atas pintu, Bulik mengambil kertas yang dilipat-lipat dan telah di paku menggunakan paku berwarna kuning keemasan dan menggantinya dengan yang baru. Dan ketika aku bertanya, Bulik hanya menjawab sebagai penangkal agar tidak ada makhluk gaib yang bisa masuk ke rumah.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU

read
4.1K
bc

My Secret Little Wife

read
91.8K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook