bc

Airport of Memories

book_age18+
271
FOLLOW
2.4K
READ
HE
friends to lovers
kickass heroine
drama
bxg
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Pernikahan Dewi dan Benny berubah menjadi dingin. Setelah sekian lama menikah, mereka juga belum dikaruniai anak. Tak ingin mengecewakan orang tua dan mertuanya, segala daya upaya dilakukan Dewi. Sayangnya, semua tidak membuahkan hasil. Dewi ingin sekali berpikir sikap Benny disebabkan karena kesibukan di perusahaan, tetapi hatinya terusik melihat kedekatan Benny dengan Dinda, sekretaris Benny.

Hingga suatu hari, ketika Dewi sedang menunggu di bandara, dia bertemu kembali dengan Ryan, mantan pacarnya ketika SMA. Ryan, yang masih lajang, mengisi banyak kekosongan yang ditinggalkan Benny.

Hubungan seperti apa yang akan terjadi di antara mereka? Akankah kisah Dewi berakhir bahagia? Bahagia seperti apa yang dikejar oleh Dewi?

chap-preview
Free preview
SATU
*Peringatan: konten eksplisit di bab ini. Reading at your own risk. -- Penundaan jadwal penerbangan bukan hal yang aneh. Setiap hari, Bandara Soekarno-Hatta menyaksikan berbagai penerbangan yang mundur terbang atau bahkan batal berangkat. Tetap saja, Dewi Anjani tak mampu menyembunyikan kecewanya. Baru saja dia duduk di sebuah cafe, menunggu pesanan latte dingin untuk meredakan kekesalan yang menggunung di hatinya. Lalu dia mendengar pengumuman bahwa penerbangannya ke Bali baru akan terbang 2 jam lagi. Seharusnya dia sudah tiba di Bali pukul 12 siang, bukannya baru berangkat dari Jakarta. Dengan gerakan cepat dia meraih kacamata hitam yang sejak tadi berada di atas kepalanya. Perempuan itu setengah membanting kacamata itu ke atas meja, lalu meraih gawainya. Sejenak Dewi merapikan blazer khaki yang dia kenakan di atas tanktop hitam dan celana pensil hitamnya. Beberapa saat menunggu, nada sambung itu berganti dengan suara laki-laki. Suaminya. “Ben, pesawatnya delay. Jam 12 baru berangkat. Kamu udah jauh?” Suara decak kesal terdengar jelas di seberang. “Tunggu aja, Wi. Kamu gak minta aku balik ke bandara kan?” Dewi mencebik, kesal suaminya tak peka akan maksudnya. Benny selalu begitu. Kemarin, pagi tadi, dan sekarang ini; Benny tak berubah. “Ya udah.” Dewi masih berharap Benny akan membujuk rayu dirinya yang sedang jengkel tak karuan. Paling tidak, Benny bisa menghiburnya. Namun, tanpa pamit, Benny memutuskan sambungan begitu saja. Dewi masih berpikir bagaimana cara melampiaskan kemarahan tanpa mempermalukan diri ketika barista memanggil namanya. “Have a nice day, Kak,” ujar barista itu dengan senyum yang mengembang. Diperlakukan manis begitu, Dewi membalasnya dengan senyum tipis. Sebenarnya Dewi bukan perempuan high-maintenance yang sulit disenangkan. Dia tak perlu disogok tas bermerek seharga ratusan juta, dia bisa tersenyum sepanjang hari hanya karena sebuah pelukan dari suaminya. Dewi tak minta berlian untuk hadiah ulang tahun, cumi saus padang masakan mama cukup baginya. Dia tak pernah minta Benny membawanya ke resort mahal untuk hadiah ulang tahun pernikahan, diajak mandi bersama saja sudah membuatnya terbang ke langit ketujuh. Namun, latte dingin di hadapannya tak bisa membuat Dewi lepas dari kekesalan akibat kelakuan Benny tadi pagi. Tidak, mungkin lebih tepatnya sejak kemarin malam. Ah, sebenarnya semua bermula dari telepon Mama kemarin siang. Percakapan mereka diawali dengan pertanyaan sederhana; tentang pekerjaan, kesehatan, bahkan menu makan siang. Dewi sudah mengantisipasi maksud terselubung Mama. Namun, dia tak menyangka Mama akan menanyakan sesuatu yang selama ini mereka abaikan. “Tamu bulananmu sudah datang, Dek?” Berpikir Mama bermaksud mengirim jamu seperti biasa, Dewi ringan menjawab, “Kemarin baru bersih, Ma. Mama mau kirim jamu?” “Dek, Mama sebenarnya tidak ingin ikut campur urusan kalian. Tapi, Mama khawatir, apa mertuamu tidak keberatan kalian terus menunda?” Dewi bisa memahami kegundahan hati Mama. Mereka sudah enam tahun menikah. Dan Benny adalah anak tunggal keluarga Suryadjaja, satu-satunya penerus. Walau tak pernah mendesak, Papi dan Mami Benny juga sering menanyakan rencana mereka memiliki momongan. Perempuan itu hanya bisa mendesah. “Papi dan Mami tidak pernah mendesak, Ma. Mungkin memang belum waktunya.” Hati Dewi mencelus ketika mengatakan hal itu pada Mama. Seandainya saja Mama tahu beberapa waktu ini Benny tidak menyentuhnya. Seandainya saja Mama tahu Benny lebih sering tidur di sofa ruang kerja daripada tidur bersamanya di kamar. Cukup hatinya yang sakit, hati Mama tidak usah. “Benny juga lagi sibuk ada proyek penting, Ma. Biar dia fokus dulu sama kerjaan,” imbuh Dewi, berusaha mengurangi kekhawatiran Mama. “Kamu mesti mengerti, Dek. Laki-laki justru butuh vitamin S ketika mereka stress.” Dahi Dewi berkerut. “Hah? Ada toh, Ma, vitamin S?” “Halah, Dek. Udah menikah enam tahun masa enggak paham? Bikin suami senang itu sudah kewajiban istri, Dek. Mungkin dengan bertambahnya dosis vitamin S dalam pernikahan kalian, lebih cepat juga anak hadir di tengah kalian.” Pipi Dewi terasa panas mendengar nasihat Mama. Dia merasa seperti remaja tanggung yang ketahuan pacaran, padahal usianya hampir 30 tahun. Tidak cukup menyiksa Dewi saat bercakap beberapa menit di telepon, kalimat Mama terngiang di kepalanya sepanjang hari. Daripada kepala terus pening, malam itu, Dewi sengaja mengganti dress rumahan dengan baju tidur satin. Menatap ke cermin, Dewi sedikit tak nyaman mengenakan pakaian yang lebih terbuka dari yang biasa dia kenakan. Tapi, ini demi Benny. Dia ingin kehadirannya membuat suaminya lepas sejenak dari kepenatan pekerjaan. Dewi membuka ikatan rambut dan menyisir rambut panjangnya. Dia sengaja menyelipkan rambut tebal itu di bahu sebelah kanan, sehingga dari sisi kiri, punggungnya yang terbuka tampak jelas. Ini untuk Benny, batin Dewi. Lekuk lehernya yang terpampang di cermin membuat Dewi menatap telinganya. Dia mengambil parfum dan menyemprotkannya di belakang telinga. Wangi bunga yang sensual merasuk indera penciuman Dewi. Merasa cukup, perlahan Dewi keluar dari kamar. Beberapa saat dia berdiri mematung di depan pintu kamar kerja Benny. Jam besar di ruang tamu sudah berdentang sebelas kali. Beberapa kali tangannya terulur hendak mengetuk pintu, tetapi selalu dia urungkan. Perempuan itu mengembuskan napas cepat dan keras, berusaha membuang ragu dalam hatinya. Cepat-cepat dia mengetuk pintu, sebelum keraguan menghalanginya lagi. Dewi segera membuka pintu perlahan. “Ben…,” sapanya lembut. Suaminya itu hanya melirik sekilas lalu mengembalikan fokus pada layar laptop dan kertas-kertas yang tersebar di atas meja kerja. “Kenapa, Wi? Aku belum selesai. Kamu tidur dulu aja,” ujarnya tanpa menatap sang istri. “Kamu…,” kata-kata Dewi terhenti. Dia melangkah mendekati Benny, tangannya memilin baju tidurnya gugup. “Malam ini kamu tidur di kamar kan, Ben? Besok aku ke Bali buat proyek renovasi vila yang di sana.” Benny menghela napas dan melepas kacamata baca yang dia kenakan. Lalu menatap tajam ke arah sang istri yang sudah berada persis di sampingnya. “Wi, bisa gak biarkan aku kerja dulu? Jangan seperti anak kecil.” “Kita udah lama…,” lagi Dewi tercekat. Hatinya penuh ragu hendak menanyakan hal yang seharusnya wajar dalam hubungan suami-istri. Tangannya yang gemetar mengelus bahu Benny. Dewi berusaha menyelipkan pahanya untuk duduk di pangkuan Benny. “Kita udah lama enggak begitu, Ben. Kamu enggak–” Benny dengan suara meninggi mendorong Dewi dan memotong kalimatnya, “Wi, aku ini lagi kerja. Jangan ganggu aku dengan hal gak penting. Kamu tidur sana!” Tak ingin Benny melihat air matanya, Dewi berbalik dan segera kembali ke kamar tidur. Dia duduk di ranjang, mengenang bulan madunya bersama Benny. Dia ingat bagaimana Benny memaksanya mengenakan baju tidur satin yang sengaja laki-laki itu beli untuk bulan madu mereka. “Nanti aku masuk angin, Ben. Angin lautnya keras banget malam begini.” “Aku tutup pintu kacanya ya.” Benny beranjak menuju pintu kaca yang memisahkan kamar tidur mereka dengan kolam renang privat yang menghadap ke laut. Dia juga menarik kelambu tipis menutup pintu kaca itu tetapi meninggalkan gorden tebal terbuka. “Aku malu, Ben. Enggak usah ya?” Dewi masih menawar. Benny menghampirinya dan memeluknya, lalu berbisik, “Pake dong, Sayang. Waktu lihat ini, aku membayangkan kamu pasti cantik banget pakenya. Aku tunggu.” Benny mendorong Dewi ke kamar mandi dan menutup pintunya perlahan. Dewi menatap baju tidur satin hitam di tangannya. Bahannya sangat halus. Jari-jarinya bergerak merasakan betapa lembutnya kain itu di tangannya. Pasti akan terasa begitu nyaman di kulit tubuhnya. Setelah terdiam beberapa saat, Dewi mencoba mengenakannya. Betapa terkejutnya dia. Baju tidur panjang itu memeluk tubuhnya lembut, sangat nyaman. Tetapi punggungnya terbuka. Dia menggerai rambutnya untuk menutupi bagian belakang tubuhnya. Dewi makin gugup melihat pantulan dirinya di cermin. Dia tak tahu harus berbuat apa. Dewi berusaha keras mengingat adegan film romantis yang sering ditontonnya. Ah! Biasanya sang tokoh perempuan akan menyemprotkan sedikit parfum di belakang telinga. Untung saja parfum favorit Dewi, hadiah ulang tahun dari Benny, duduk manis di wastafel bersama perlengkapan lainnya. Tepat setelah Dewi menyemprotkan parfum di daerah telinga dan leher, Benny mengetuk pintu kamar mandi. “Wi, Sayang, udah?” Dewi menelan ludah keras lalu berdeham. “Iya, Ben.” Suara Dewi bergetar. “Sebentar.” Perlahan, Dewi membuka pintu dan mengintip ke kamar tidur. Lampu utama padam dan ada beberapa lilin menyala yang membuat suasana kamar begitu redup dan tenang. Benny yang awalnya duduk di tepi ranjang, berdiri dan menghampiri Dewi. “Kamu cantik banget, Sayang.” Dewi melihat sorot mata Benny yang tak pernah dia tahu sebelumnya. Laki-laki itu menatapnya lekat; Dewi merasa didambakan dan diinginkan lewat tatapan itu. Benny mengulurkan tangan, yang langsung disambut malu-malu oleh Dewi. Laki-laki itu mengecup bibir Dewi. Kecupan ringan itu dengan cepat berubah menjadi lumatan penuh gairah. Tangan Benny yang besar dan hangat memeluk dan menyentuh lengan Dewi. Perlahan sentuhan Benny bergerak ke punggung Dewi yang tak tertutup apapun, membuatnya tersentak. Merasakan reaksi Dewi, Benny melepas ciuman mereka dan menatapnya lembut. Satu tangan Benny memindahkan rambut panjang Dewi ke salah satu bahu istrinya itu. “Kamu seksi banget, Sayang. Aku enggak salah beli baju ini.” Benny membalik tubuh Dewi, membuat punggung telanjang Dewi bersentuhan dengan d**a bidangnya. Dewi merasakan ciuman Benny di tengkuknya. Dan perlahan dia bisa merasakan suaminya itu memuja leher dan bahunya. “Aku suka wangimu, Wi. Ini parfum yang aku belikan ya?” Pertanyaan Benny hanya Dewi jawab dengan anggukan. Tangan Benny yang melingkari perutnya mulai bergerak dan menyentuh tubuh Dewi. “Ben….” Dewi sempat terkejut mendengar serak suaranya sendiri. Dia malu sudah b*******h seperti ini. Tetapi dia merasa begitu istimewa. Benny membuatnya merasa sangat cantik. Benny seperti dilecut oleh reaksi Dewi. Karena tak lama setelahnya, laki-laki itu menggendong Dewi dan merebahkan istrinya dengan sangat hati-hati di tempat tidur. Pakaian mereka terlepas satu demi satu. Dan Benny mendekapnya erat ketika mereka menyatu untuk pertama kalinya. Kepala Dewi pening, hatinya serasa diremas oleh kenangan manis itu. Dengan berlinang air mata, Dewi melucuti baju tidur satin hadiah bulan madu dari Benny yang membalut tubuhnya. Dia berbaring dan menarik selimut tebal untuk melingkupi tubuh telanjangnya. Bayangan Benny memuja dirinya di malam itu terus diputar di kepala Dewi. Hingga untuk pertama kalinya, Dewi tak tahan dan menggunakan tangannya sendiri untuk menyentuh tubuhnya, hingga titik-titik yang hanya pernah disentuh oleh Benny. Membayangkan suaminya sedang memuja dirinya seperti dulu. “Ben,” desah Dewi pada suami dalam bayangannya. “Benny, aku kangen,” panggil Dewi ketika dia meraih puncaknya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook