bc

Romanticism 3.50

book_age16+
701
FOLLOW
2.1K
READ
love after marriage
fated
arranged marriage
goodgirl
comedy
sweet
bxg
humorous
lighthearted
friendship
like
intro-logo
Blurb

Ruth tidak pernah menyangka hasil kerja kerasnya selama ini malah menjadi petaka bagi perempuan itu.

Ruth harus merelakan keinginan terbesar dalam hidupnya hanya untuk sebuah pernikahan konyol yang diusulkan oleh ayah dan bundanya.

Hal yang tidak pernah dikira oleh Ruth adalah ... ia akhirnya menerima perjodohan yang telah diusulkan oleh orang tuanya semenjak beberapa bulan yang lalu.

Menikah dengan Arka Ravindra, seorang pemilik restoran dengan sifat yang kerap kali membuat Ruth sebal menghadapi Arka benar-benar membuat fisik dan mentalnya tersiksa. Andai saja diperbolehkan, Ruth sangat ingin resign menjadi istrinya Arka.

Seperti pepatah Jawa yang mengatakan witing tresno jalaran soko kulino. Ruth nampaknya mulai masuk ke dalam perangkap cintanya Arka. Hal yang ada di pikirannya hanyalah Arka, Arka, dan Arka. Perempuan yang memiliki figur wajah yang mirip dengan kucing itu bahkan rela berdiri di luar rumah sewaktu rembulan menampakkan diri hanya demi menunggu kepulangan Arka yang sering kali berakhir dengan Ruth yang kembali masuk ke dalam rumah tanpa mengunci pintu rumah.

chap-preview
Free preview
1. Romanticism 3.50
Ruth memukul kepala sebelah kirinya beberapa kali. Perempuan itu mengumpat dengan suara yang nyaris tak terdengar lalu menghela napas. Ditatapnya kembali lembaran kertas yang menjadi taruhan masa depannya. Ruth Anasthasia, perempuan itu terus merutuki diri dengan u*****n-u*****n kasar yang kerap kali ditontonnya di film-film. Atensi Ruth mendadak teralihkan tatkala mendengar decitan pintu. Perempuan yang tengah duduk di kursi meja belajar itu menoleh melihat ke arah sana. Seseorang baru saja masuk. Itu kakaknya. "Jadi nilai IPK kamu berapa? Aku ga sabar nih pengen ngetawain kamu." Ruth mendengus. Namun begitu, ia tetap memperlihatkan hasil kerja keras otaknya selama berstatus sebagai seorang mahasiswi kepada sang kakak. Decakan pelan keluar dari mulut perempuan yang beberapa tahun lebih tua dari Ruth. "Kasian banget sih kamu." Karina, kakaknya Ruth itu mengakhiri kalimatnya dengan tawa. "Kak Karin ... nasibku bakalan gimana ini? Aku musti gimana?" Karina tertawa pelan. Langkahnya beranjak menghampiri sang adik yang baru saja mendapat gelar S.S. "Jangan sedih begitu. Aku aja yang ditinggal nikah pacar ga sedih-sedih banget kayak kamu sekarang ini." "Ditinggal nikah aja bangga." Ruth mencibir, "Perasaan pas itu Kak Karin nangis berminggu-minggu sampe mogok makan segala lagi." Karina meringis. "Itu dulu pas aku lagi mode b**o. Sekarang udah enggak lagi dong." Ruth membuang muka. Perempuan itu beranjak dari kursi meja belajar lalu keluar kamar. Diikuti oleh Karina di belakangnya. Langkah Ruth terhenti kala berdiri di anak tangga. Sayup-sayup ia dapat mendengar obrolan kedua orang tuanya. Sekali lagi, Ruth memperhatikan dua digit angka di belakang angka tiga. Ia mendesah berat. Ruth menoleh ke arah sebelah kanannya tatkala Karina menepuk pundak perempuan itu. "Aku duluan. Jangan lama-lama bengongnya, kasian cacing-cacing di perutmu kelaperan." Ruth tak merespon. Ia membiarkan Karina beranjak lebih dulu meninggalkan Ruth di sana. Oke. Apapun yang terjadi, Ruth pasrah ... mungkin. Ruth kembali melangkah menuju ruang makan. Ia menarik kursi meja makan, lalu duduk di sana. Tepat di sebelah Karina. "Berapa nilai IPK-mu, Ruth?" Ruth menoleh menatap sang ayah. Bahu perempuan itu nampak menurun dengan raut wajah yang jelas sekali menampakkan kemuramannya. "Ingat sama janjimu. Kalau-kalau nilainya rendah, jangan sok amnesia." Bukan hanya Ruth, Karina pun ikut meringis mendengar ujaran Bunda. "Ngaku! Sebenernya aku bukan anak Ayah sama Bunda, 'kan?" Ruth nyaris berteriak. Sementara Ayah dan Bunda saling menukar pandang lalu menatap putri bungsu mereka. "Iya. Kamu memang Ayah temuin di kolong jembatan." "Tuh, 'kan!!" Ruth merengut, "Ga heran kenapa Ayah sama Bunda ga dateng ke acara wisudaku kemaren." Ia beranjak. "Udahlah. Aku mau pergi aja." Karina menjatuhkan rahang mendengar jawaban sang ayah. Perempuan itu benar-benar tidak menyangka bahwa— "Otak kamu ketinggalan di mana, Ruth? Kamu kira wajah kamu yang cantik itu nurun dari siapa?" Bunda menaikkan dagu menatap Ruth. "Bunda sama Ayah ga bisa datang karena Nenek kalian lagi sakit. Kamu mau Nenek kenapa-napa? Begitu maumu?" "Jadi ... Ruth bukan anak yang diambil dari kolong jembatan 'kan, Bun?" Karina berujar ragu. "Jelaslah," tegas bunda. Tetap saja. Ruth masih bermasam muka. Bunda berdecak melihat kelakuan si bungsu. Wanita itu mengambil alih benda yang menjadi akar permasalahan kegalauan Ruth hari ini. 3.50. Ayah tampak mengerutkan dahi melihat angka-angka itu. Menatap Ruth sebentar lalu kembali fokus mengamati angka-angka yang tertera di lembaran itu. Mendapat respon kurang bagus dari Ayah membuat rasa percaya diri Ruth kian menciut. "Nilai IPK-mu 3.50. Ingat kesepakatan kita waktu itu 3.70 baru kamu bisa hidup bebas," ucap Bunda. "Bunda ...." Bunda menarik napas dalam-dalam, membuang muka lalu kembali menatap Ruth. Wanita itu beralih menatap Ayah. "Mas, atur pertemuan sama Pak Purnama ya. Lebih cepat lebih baik." Ayah tampak sumringah. "Siap, Sayang. Akhirnya ... setelah sekian lama kita menanti, ada juga anak kita yang bakalan nikah." "Jadi ga sabar pengen cepet-cepet punya cucu." Bunda menimpali ucapan Ayah. "Bagus banget, Ruth. Bunda seneng kamu dapet nilai 3.50. Di mana lagi coba ada orang tua yang baik hati kayak Bunda sama Ayah?" Karina yang mendengar hal itu tertawa keras. Memang, Karina-lah yang paling bahagia. "Baik hati dari Hongkong! Mana ada orang tua yang memperjual belikan anaknya," ujar Ruth. Bukannya marah, kedua pasangan sejoli itu malah terbahak. "Ini bukan memperjual belikan. Lagipun kamu udah sepakat waktu itu," ucap Ayah. "Itu murni karena paksaan dari Bunda." Ruth menggeram. "Lagian 'kan ada Kak Karin yang bisa kalian jodohin? Masa iya aku duluan yang nikah? Emang Bunda ga malu nanti digosipin sama Emak-Emak komplek?" "Ngapain malu? Bunda ga ngelakuin kejahatan keji. Jadi ga perlu malu. Lagi pun, kasian juga Kakakmu yang ditinggal nikah pacarnya itu." "Terus aku? Bunda ga kasian sama aku?" Bunda tersenyum seraya mengusap surai rambut Ruth. "Bunda juga sayang sama kamu. Sayang banget malah." "BUNDA!!" * Bruk. "Ngapain Kak Karin tidur di kamarku?" Karin meringis kesakitan. Tubuhnya menubruk lantai akibat tendangan Ruth. Memang kekuatan Ruth itu bukanlah tandingannya. Entah kenapa sekarang ia malah teringat akan pendustaan yang diucapkan ayahnya tadi. Mungkin saja ... Ruth benar-benar anak yang diambil dari kolong jembatan. "Keluar sana! Ide brilian aku bakalan hilang kalau ada hama di kamarku. Sana sana!!" Ruth menarik paksa Karina. Menyeretnya keluar kamar. "Ya ampun, Ruth. Gini-gini aku masih Kakak kamu ya." "Kakak mana yang bahagia atas penderitaan adiknya sendiri?!!" Karina dibuat bungkam. "Sana! Keluar! Aku mau revisi bab yang baru aja kutulis." "Kalau bukan karena Bunda yang nyuruh mana mau aku tidur di tempat yang ga ada udara bersihnya sedikitpun. Mending juga aku cosplay jadi buaya betina." "Kenapa lagi sih? Aku udah setuju soal besok. Sekarang Bunda mau ngasih siksaan jenis apa lagi ke aku?" Karina membawa Ruth ke pelukannya. Perempuan itu memberi tepukan pelan di punggung Ruth. "Sabar aja, Ruth. Sabar." Ruth malah mendorong kasar tubuh Karina. Wajahnya tampak merah padam. "Sabar? Apanya yang mesti disabarin?!! Awas aja kalau besok Kak Karin melarikan diri lagi ...." Karina menampakkan cengiran khasnya pada Ruth. "Kak Karin tidur aja sana. Aku mau lanjut nulis dulu. Mumpung lagi ada ide ini." Perempuan itu menurut, merebahkan tubuh ke kasur lalu menarik selimut menutupi tubuh. Sementara Ruth kembali mendudukkan diri di kursi meja belajar. Ruth menatap layar laptop. Sejujurnya, ia sama sekali sedang tidak memiliki keinginan untuk melanjutkan tulisannya. Karena suasana hatinya yang kian memburuk membuat dirinya bingung harus menulis apa. Perempuan itu masih tidak habis pikir dengan ide gila orang tuanya. Bahkan jika dipikir-pikir lagi, nilai IPK-nya memang tidak terlalu tinggi. Tapi bukan berarti nilainya rendah dan mengecewakan. 3.50 itu nilai yang bagus. Mengingat fakta bahwa kapasitas otaknya memang pas-pasan. "Kak ...." "Hm?" Ruth memutar kursi menghadap Karina yang tidur di kasur. "Kira-kira kalau aku kabur dari rumah ... reaksi Bunda gimana?" Karina membuka mata, memiringkan tubuh menatap Ruth. "Lupa pas aku ditinggal nikah sama mantanku itu? Tensi Bunda naik sampe 140 lebih. Kamu kalau mau liat Bunda sakit ya silahkan ... tapi siap-siap aja nyawamu aku eksekusi." Aih, benar juga. Ruth nyaris melupakan kejadian dua tahun yang lalu. Ia ingat betul kala itu empat hari sebelum akad nikah Karina dan pacarnya akan berlangsung, bahkan undangan pernikahan sudah tersebar. Tiba hari H, Karina dan keluarganya dibuat kaget dengan kedatangan seorang perempuan yang mengaku sebagai istri pacar Karina. Tentu tidak ada yang mempercayai hal itu awalnya, namun setelah memberitahu bukti-bukti nyata ... semuanya benar-benar hancur. "Kasian banget ya Kak Karin. Udah ditinggal nikah, sekarang jomblo pula. Rugi banget punya tampang oke." Karina berdecak. Lagi-lagi ia dijadikan objek hinaan. "Kamu pengen banget ya perjodohannya dibatalin?" Ruth terdiam. Itu merupakan pertanyaan yang sudah sangat jelas jawabannya bagaimana. "Banget. Kak Karin juga tau kan apa keinginanku selama ini? Tapi ya ... Bunda sama Ayah juga ngebet banget punya cucu." Sedari kecil Ruth sangat suka membaca. Ia suka membaca apa saja yang dilihatnya. Sewaktu masih duduk di bangku SD, Ruth suka membaca koran yang diantarkan oleh penjual koran pagi kepada ayahnya yang selalu lewat di depan rumah. Memang terkadang ada beberapa bacaan yang membuatnya harus meminta penjelasan dari bunda tentang hal yang dibacanya. Seperti pasangan yang telah menjalin hubungan selama bertahun-tahun lalu menikah lalu akhirnya memutuskan untuk bercerai. Urusan orang-orang dewasa selalu mampu membuatnya pusing. Karina melempari Ruth dengan bantal, menatap geram adiknya. "Pernikahan kamu bukan cuma buat ngasih cucu ke Ayah sama Bunda." Karina menghela napas. Sejujurnya, Karina merasa sedikit menyesal karena pernikahannya yang gagal, Ruth harus menjadi korban perjodohan orang tuanya. Ruth bahkan harus merelakan keinginan terbesarnya untuk menjadi seorang penulis. Karina sangat tahu bahwa adik bungsunya itu menyukai semua jenis tulisan, namun yang paling disukai Ruth adalah tulisan yang bergenre misteri seperti yang ditulis oleh Sir Arthur Conan Doyle. Atau seperti hasil tulisan Mark Twain. "Intinya, kamu jangan fokus sama ucapan Ayah dan Bunda. Mereka bilang begitu juga cuma buat iseng-isengan doang. Nanti kalau udah waktunya, Ayah dan Bunda bakalan dapat cucu juga." Ruth terdiam sebentar. Hingga beberapa saat kemudian ia mengangguk beberapa kali meski tidak begitu yakin dengan hal itu. Ia bahkan sangsi dengan perjodohan itu. "Aku tidur duluan ya. Jangan panggil-panggil aku lagi. Selamat malam," ucap Karina. Ruth mengangguk. Sembari memutar kembali kursinya, ia berujar, "Selamat malam juga, Kak Karin. Sleep well."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
12.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.3K
bc

My Secret Little Wife

read
95.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook