bc

My Billioner Ex-Husband

book_age18+
87
FOLLOW
1K
READ
billionaire
revenge
second chance
independent
self-improved
CEO
drama
sweet
office/work place
affair
like
intro-logo
Blurb

Zeniara Sakila harus menelan pil pahit ketika mengetahui mantan suaminya menjadi CEO di tempatnya bekerja. Ya, Wira Handaru, laki-laki yang dulunya miskin kini berubah menjadi kaya raya.

Ara pergi saat mantan suaminya berjuang dari nol. Ia tidak tahan dengan kehidupan yang semakin hari semakin meresahkan.

Oleh karena itu Ara cukup tahu diri untuk tidak berurusan lagi dengannya. Tapi, tidak dengan Wira.

Secara frontal ia menunjukkan balas dendam. Mempermainkan Ara yang kini keadaannya tidak jauh berbeda sejak mereka berpisah.

Di matanya mungkin Ara seperti wanita matrealistik tapi apakah Wira tahu sefrustasi apa Ara saat secanting beras pun tidak punya?

Di tengah kondisi yang serba salah ini. Mungkinkah mereka bisa saling mengerti dan bersama kembali?

chap-preview
Free preview
Laki-Laki Berjas Hitam
“Fir, kamu tidak ada niatan mau menikah lagi?” “Tidak ada!” jawab tegas Ara, janda tanpa anak yang tujuh tahun lalu melayangkan gugatan cerai. “Ayolah, tidak semua laki-laki itu sama. Mungkin saja waktu itu kamu sedang apes dipertemukan laki-laki macam dia,” timpal Ruri. Rekan kerja Ara. “Kamu tahu? Dulu saat pertama kali bertemu dengannya. Aku yakin dia jodoh dunia dan akhiratku. Aku merangkai ekspetasi tinggi hingga akhirnya aku dijatuhkan oleh ekspetasiku sendiri. Tck! Kamu harus menikah dulu dan rasakan sendiri!” dengus Ara. “Sebenarnya kamu ingin menakutiku atau bagaimana?” “Hehe, maaf, maaf. Aku lupa kalau kamu masih perawan. Tapi… menurutku kamu harus cari laki-laki mapan. Kalau bisa jangan berkecimpung di dunia bisnis. Apalagi sedang merintis. Big no!” “Memangnya kenapa? Aku tidak keberatan menemani dari nol.” “Tck! Dengar saranku. Itu hanya kata-kata bullshit yang suatu hari akan kamu telan sendiri. Aku sudah trauma menemani seseorang dari nol. Ujung-ujungnya tidak menghasilkan apa-apa. Yang ada makin bangkrut iya!” “Wah, sepertinya ini masih tentang suamimu ya?” “Mantan!” seruduk Ara tidak terima. “Hehe, oke, oke. Ah, sepertinya sudah jam makan siang. Ayo bawa nampan ini ke kantin,” ajak Ruri yang disetujui Ara. Mereka bekerja di salah satu perusahaan. Cukup besar untuk dikatakan perusahaan karena kantor ini memiliki sepuluh lantai dengan struktur jabatan sistematik. Salah satu perusahaan pangan yang menyajikan makanan instan. Pengirimannya sudah mendunia dan salah satu perusahaan brand terkenal. Seperti kata Ara sebelumnya. Ia trauma dengan bisnis kecil. Itu sebabnya ia mengincar perusahaan besar untuk mencari rejeki. Walau hanya diposisi helper. Bahasa gaulnya seperti itu. Tapi pekerjaannya lebih mengarah ke penjaga kantin. Padahal Ara lulusan S1 dengan IPK sempurna. Tidak apa! Selama gajinya besar dan bisa menutupi uang sekolah adiknya yang kini menempuh kuliah di luar kota. Deretan karyawan baik laki dan perempuan berbaris rapih mengambil satu persatu prasmanan yang tersaji. Ara dan Ruri setia menunggu dengan senyum secerah matahari. Jika ada nampan yang hampir habis, salah satu dari mereka akan mengisinya lagi ke dapur. Begitulah job desk mereka kurang lebih satu tahun bekerja di sini. “Bisa minta tolong belikan garam?” sahut seorang paruh baya. Dia adalah Bu Gandi, koki perusahaan. Karyawan tetap dan yang jelas lebih senior dari Ruri dan Ara. “Biar saya saja Bu,” unjuk Ara. Kebetulan shamponya habis. Biar bisa beli sekalian. Dari pada mampir sepulang kerja. “Jangan lama-lama ya!” sahut ketus Bu Gandi. Ruri dan Ara saling pandang kemudian melempar tatapan heran ke punggung wanita yang terus menjauh itu. “Sepertinya penyakitnya kambuh lagi,” celetuk Ruri. “Humm, setuju.” Entah kenapa tensi Bu Gandi selalu mengalami kenaikan saat berhadapan dengan Ara atau pun Ruri. Padahal mereka tidak pernah membuat masalah. Datang pun selalu yang pertama. Tapi anehnya orang itu justru memperlakukan mereka seperti anak tiri. Ada satu kemungkinan, kalau dilihat dari kesamaan Ruri dan Ara, mereka sama-sama masih muda dan memiliki tubuh yang bagus. Mungkin Bu Gandi ingin kembali ke masa muda. Begitulah kesimpulan mereka. “Ya sudah aku ke supermarket dulu ya?” pamit Ara. “Humm, eh!” cegah Ruri. Ia mendekat lalu berbisik. “Titip pembalut,” sambungnya berbisik. “Pembalut merk apa?” ujar Ara yang berpas-pasan dengan suara sunyi. Sehingga membuat suaranya lebih besar dan terdengar banyak orang. “Sssstt! Hehe, maaf, maaf....” ucap Ruri pada karyawan yang sedang makan. Ruri pun langsung menepuk pundak Ara dan memberikan uang. “Merk apa saja. Yang night ya.” “Oke. Dasar perawan. Makanya menikah agar tidak haid terus.” “Tck! Mentang-mentang janda! Kalau bicara semaunya!” Ara menjulurkan lidah. Menggoda Ruri adalah hiburan tersendiri untuknya. Tak berselang waktu lama. Ara sudah menapaki lantai supermarket. Ia ke arah bumbu-bumbuan dan menyahut garam dapur. Sejenak kakinya melipir ke etalase pembalut dan shampo. Lalu pergi ke kasir untuk membayar. Ya, Ara tidak ingin korupsi waktu. Ia tidak ingin diomeli oleh Bu Gandi sepulang dari sini. “Totalnya lima puluh empat ribu Kak. Sekalian pulsanya?” “Tidak, terimakasih.” “Coklatnya lagi promo Kak. Khusus hari valentine. Buat pacar atau teman di sekolah,” tawar kasir cantik itu. Ara tahu ia berusaha professional. Tapi, kenapa ya orang-orang selalu salah mengira bahwa Ara masih seusia anak remaja? Tidak hanya sekali, tapi berulang kali Ara sering dianggap anak SMA. Mungkin karena wajahnya yang terlihat awet muda. Siapa yang menyangka jika umurnya sudah di akhir dua puluhan. “Hehe, terimakasih. Kupikir umur 29 tahun tidak terlalu membutuhkan coklat valentine. Maaf ya,” sahut Ara ramah. Ungkapan Ara sontak membuat si penjaga kasir terkejut. “Wah, Kakak terlihat seperti anak sekolahan. Hebat sekali. Apa rahasianya kak?” tanya si penjaga kasir semangat. Dia tidak tahu saja. Di balik wajah yang katanya baby face ini ada fase terjungkal ribuan kali. “Tidak ada rahasia apapun. Mungkin karena keturunan. Hehe.” “Wah senangnya punya wajah baby face,” ucapnya seraya memberikan belanjaan. “Terimakasih ya,” ucap Ara sebelum pergi. Ia menaiki motornya kembali dan beranjak ke kantor. Butuh waktu lima menit untuk sampai. Namun, alih-alih sampai, di tengah jalan Ara justru dibuat pusing dengan ban motor yang tiba-tiba pecah. “Aduh ada-ada saja! Bagaimana ini?” “Ah iya! Telepon Ruri. Semoga dia tidak meninggalkan handphone nya di tas.” Kesabaran Ara harus diuji karena sambungannya tak kunjung diangkat. Ah sial! sepertinya Ara harus menerima ocehan panjang kali lebar lagi setelah ini. Nasib ya nasib! Setelah menunggu beberapa menit di tukang tambal ban. Akhirnya motor Ara selesai diperbaiki. Tak menunggu waktu lama Ara langsung melesat bagai kecepatan cahaya. Harapannya masih sama. Semoga Bu Gandi tidak menceramahinya di depan umum seperti yang sudah-sudah. Dengan nafas tersengal Ara berlari ke dapur. Ada beberapa pasang mata yang menatap heran. Terserahlah! Prioritas utama Ara adalah mengantarkan garam dapur ini ke Bu Gandi sebelum ia berubah menjadi singa betina. Tepat di depan sana adalah pintu dapur. Ara langsung membukanya seraya berteriak. “Maaf Bu ini garamnya,” ulur tangan Ara ke depan. Ia tak sempat memperhatikan sekitar dan langsung berteriak. “Sudah lama ya tidak bertemu,” sahut suara bariton. Mata Ara terbelalak. Memandang laki-laki berjas hitam di depannya. “Kamu….”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook