bc

Half Moon; October

book_age16+
178
FOLLOW
1K
READ
adventure
BE
comedy
twisted
mystery
bold
genius
ambitious
witty
realistic earth
like
intro-logo
Blurb

Abyan dengan sengaja angkat kaki dari rumah orang tuanya agar tidak lagi terkekang dengan aturan-aturan tidak masuk akal yang dibuat oleh sang papa. Yang mana hal itu bagaikan simpul yang tidak bisa dileraikannya.

Setelah mendapat rekomendasi dari sahabatnya, Abyan pun pindah ke sebuah rumah susun.

Akan tetapi niatnya ingin hidup dengan nyaman dan damai malah lenyap dalam sekejap sewaktu salah seorang penghuni rusun yang mengobrol dengannya pagi tadi kini telah kehilangan nyawa. Pihak media dan kantor polisi mengatakan bahwa pemuda yang telah kehilangan nyawa itu meninggal akibat bunuh diri. Sangat berbanding terbalik dengan apa yang dipikirkan Abyan. Lelaki itu yakin bahwa pemuda tersebut tidak bunuh diri, melainkan dibunuh.

Kasus pembunuhan itu terus berlanjut. Dan Abyan masih belum mendapatkan petunjuk apapun mengenai pembunuhan tersebut dikarenakan kondisi TKP selalu dalam keadaan bersih, tidak meninggalkan jejak sedikit pun. Hal itu membuat Abyan yakin bahwa dalang di balik semua kejadian tak mengenakkan hati itu merupakan seseorang yang benar-benar luar biasa.

Lalu, bagaimana akhir dari perjuangan Abyan demi menemukan si pelaku?

chap-preview
Free preview
1. Pindah
Aku mengetuk-ngetuk kakiku ke ubin seirama dengan musik yang aku dengarkan melalui ear phone. Lagu yang kudengarkan saat ini benar-benar asyik, ya ... setidaknya begitu menurutku. Aku merogoh saku jaket bomber berwarna biru yang kukenakan. Lalu kukeluarkan ponsel pintar dari dalam saku. Aku mengetuk layar ponsel yang tadinya mati. Niat untuk mengetahui judul lagu yang tengah kudengarkan malah kandas sewaktu lagu berikutnya terputar secara otomatis. "Baru ya, Bang?" Aku menoleh menatap ke sebelah kanan. Kulihat seorang remaja berseragam putih abu tengah menatap ke arahku seolah menanti jawaban yang sudah sangat jelas seperti apa jawaban yang akan kuberikan. "Iya." Aku menjawab seadanya. Tatapanku masih tampak enggan beralih menatap ke tempat lain. Saat ini aku benar-benar tertarik melihat remaja lelaki itu. Tangan sebelah kanannya masuk ke dalam saku celana. Sementara tangan sebelah kiri ia gunakan untuk menjinjing tas yang seharusnya ia gantung di kedua pundaknya. Lingkaran hitam di bagian matanya tidak begitu tampak, jika tidak terlalu diperhatikan. Rambutnya pun terlihat sedikit basah. Akan tetapi, jika kulihat dari pakaian remaja itu saat ini, sepertinya ..., "Masih kelas sepuluh ya, Dek?" Aku melihat jelas reaksinya yang membuat sudut bibirku terangkat. Remaja itu menjatuhkan rahangnya, menautkan alis melihat ke arahku. "Dari mana Abang tahu?" tanyanya padaku. Biar kuberi tahu, sejujurnya hal ini mudah saja bagiku. Pakaian yang dikenakan oleh remaja itu terlihat masih baru. Deduksiku kian kuat sewaktu aku melihat ke arah sepatu yang dikenakannya. Tidak terlihat sedikit pun bekas noda di sana. Belum lagi, tanda nama yang belum sempat kubahas. Yang jelas-jelas tertulis angka sepuluh dengan tulisan romawi di sana. "Tanda nama yang kamu pake." Demi apapun, aku tidak ingin menyombongkan diri. Tujuanku pindah ke rumah susun, tempat tinggalnya masyarakat kelas menengah ke bawah adalah untuk menemukan kasus-kasus. Uang adalah incaranku satu-satunya saat ini. Kulihat remaja itu tertawa mendengar jawaban dariku. Aku rasa, dia tidak menduga bahwa aku akan memberi jawaban yang seperti itu. "Jadi, nama kamu Randy ... P?" Aku menaikkan sebelah alisku sembari menatapnya. Bukankah nama yang baru saja kusebutkan itu terdengar tidak asing? Remaja itu tertawa. Hingga aku menyadari satu hal lagi darinya. Bahwa remaja itu memiliki lesung pipit yang kurasa mampu memikat hati para gadis zaman sekarang. "Randy P. Kepanjangannya Randy Pangestu. Bukan Randy Pangalila," katanya. Aku mengangguk beberapa kali seraya tertawa pelan mendengar perkataannya. "Omong-omong, mau sampai kapan Abang berdiri di sini? Elevatornya lagi rusak. Jadi Abang mesti pake itu," ujarnya sembari menunjuk ke arah utara. Aku mengalihkan atensi melihat ke arah yang ditunjuknya. Tangga darurat. Aku berdecak. Dalam hati aku mengatai seseorang yang menyuruhku untuk pindah hari ini. Aku kembali menoleh melirik remaja bernama Randy itu. Jelas sekali bahwa ia tengah menahan tawanya kuat-kuat. "Abang tinggal di unit berapa?" tanyanya kemudian. "210." Kutatap ekspresi wajah remaja itu, aku yakin Randy tengah berusaha mengingat sesuatu, seperti hal yang berkaitan dengan nomor unit yang akan kujadikan tempat tinggal untuk sementara waktu ini. "Oh, berarti lantai tiga ya," ucapnya setelah beberapa detik aku menunggu hal apa yang akan diucapkan oleh Randy. "Semangat ya, Bang, naik tangganya." Kulihat Randy mengeluarkan tangan kanan yang sedari tadi berada di dalam saku celana. Ia kini merapikan letak dasi yang dikenakannya. "Aku ke sekolah dulu ya, Bang. Nanti kalau ketemu lagi kita mesti kenalan. Ga adil banget kalau cuma Abang yang tahu nama aku," katanya. Aku hanya tertawa pelan sebagai respons terhadap ujaran Randy. Sewaktu ia beranjak meninggalkanku, aku menyadari satu hal yang benar-benar membuatku penasaran semenjak pertama kali ia menyapaku. Pergelangan tangan kanan Randy terlihat adanya bekas sayatan yang amat banyak. Aku bergegas menarik koperku yang super berat ini berniat menyusul Randy. Akan tetapi langkahku terhenti tatkala seorang wanita yang tengah mengandung berjalan ke arahku, sesekali wanitu itu juga melambaikan tangannya kepadaku. Akhirnya aku memutuskan untuk menghampiri wanita tersebut. Pakaian berwarna merah yang dikenakan oleh wanita itu membuatnya kelihatan lebih menonjol. Sementara rambut pendeknya tampak tersisir begitu rapi. Sewaktu jarakku dengan wanita itu kian menipis, aku dapat menghirup aroma lavender darinya. "Dek, tolong bantuin Ibu naik tangga ya," pintanya. Wanita itu memegangi tangan kananku. Wajahnya kian memelas. Bahu wanita itu tampak kian menurun dengan tatapannya yang jelas sekali terlihat penat. "Ibu tinggal di lantai dua. Ibu minta tolong buat antarin Ibu, cukup sampai di ujung tangga aja. Setelah itu Ibu bisa pergi sendiri." Aku melirik ke arah perutnya yang kelihatan besar. Tangan kanannya juga sedari tadi terus mengusap perutnya yang besar itu. "Ayo, Bu. Saya antarin," ucapku penuh semangat. Setelah menghabiskan waktu selama beberapa menit untuk mengantar wanita yang tengah mengandung tadi, aku kembali turun ke lantai bawah. Guna mengambil koper lalu membawanya ikut bersamaku. Bagaimanapun juga, seluruh kehidupanku ada di dalam koper itu. Dan akhirnya aku tiba di lantai tiga. Tidak, aku tidak langsung memasuki unitku. Aku berdiri tepat di depan unit 208. Seolah tempat tinggal sendiri, aku langsung menekan deretan angka-angka yang menjadi pengaman pintu itu. Berhasil!! Segera aku memasuki unit itu. Hal pertama yang kulihat adalah, keberadaan seorang lelaki yang tengah asyik menikmati mie instannya. "Enak banget ya, Raf. Aku kamu suruh pindah hari ini. Udah di jalan macet banget. Ditambah lagi elevatornya rusak. Dan kamu malah asyik makan mie." Lelaki berkulit putih dengan perawakan tubuh yang sedikit lebih pendek dariku itu hanya menunjukkan cengirannya. Ia kembali menyuruput mie instan yang dimakannya dengan cepat. "Maaf, Abyan. Sengaja." Mendengar respons Raffa, sahabatku, aku melemparinya dengan snelli yang tergantung di rak pakaian. "Maaf, Raffa. Sengaja," balasku. * Aku membuka jendela unitku. Aku menengadah, melihat langit yang kelihatan begitu gelap. Akan tetapi dari tempatku berdiri saat ini pun aku dapat melihat jelas bulan sabit yang menghiasi kelamnya langit malam. Aku bersiul, tanganku bergerak menutup kembali jendela itu lalu beranjak menjauhi jendela itu. Dan barulah aku memulai kegiatan yang seharusnya kuselesaikan dari tadi. Kubongkar satu persatu isi koper. Akan tetapi aktivitasku terhenti sewaktu melihat kalender meja yang memang sengaja kubawa dari tempat tinggalku yang sebelumnya. Aku mengambil pulpen yang kuletak di bagian sudut koper lalu melingkari angka 10 dibulan Oktober. Merasa bosan dengan suasana yang benar-benar terasa begitu sepi, aku kembali memutar lagu melalui ponsel. Aku mengernyit sewaktu menyadari bahwa itu adalah lagu terakhir yang kudengarkan pagi tadi. Tidak. Aku salah. Itu bukan lagu. Itu adalah musik klasik yang sempat kudengar beberapa kali. Penasaran dengan komposer musik dibalik karya itu, aku menyalakan data seluler ponselku. Claude Zavier William. Ah, rupanya musik yang kudengar saat ini merupakan karyanya William. Pantas saja aku merasa familier. "Das Ende der Stille," gumamku sewaktu membaca judul musik klasik itu. Kubiarkan musik itu terus terputar dan kuletak ponselku ke samping koper. Ponselku tiba-tiba berdering. Hanya deringan singkat karena adanya notifikasi yang baru masuk. Niatku ingin mengabaikan notifikasi malah urung sewaktu aku secara tidak sengaja membaca klik bait sebuah berita terkini. Remaja Berinisial RP, Tewas Bunuh Diri. Sekujur tubuhku mendadak terasa kaku. Melihat foto seorang remaja yang telah disensor itu berhasil membuat bulu kudukku merinding. Bukankah dia remaja yang mengajakakku mengobrol pagi tadi?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Menantu Dewa Naga

read
176.8K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
860.2K
bc

Scandal Para Ipar

read
693.4K
bc

Marriage Aggreement

read
80.7K
bc

My Devil Billionaire

read
94.7K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
623.9K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook