Ch.01 Bacardi dan Teman-Teman
Cerah, bintang bersemi di hamparan gelap angkasa. Sinar rembulan memantul indah, mengerlipkan harap di permukaan helai dedaunan. Akan tetapi, bukan hanya harap yang melambung di benak seorang lelaki.
Ia duduk di sebuah batang kayu sembari memandangi keindahan alam di atas kepalanya. Lelah dengan harap untuk bisa melanjutkan hidup setelah tragedi sedemikian menyesakkan, yaitu kehilangan sang istri dan anak yang ada di dalam kandungan pada saat bersamaan.
Gemericik air yang bergerak lambat di danau seharusnya mendatangkan ketenangan tersendiri. Tidak dengannya, ketenangan tak pernah hadir meski apa pun yang terjadi. Ada kehilangan, kehancuran di dalam jiwa. Apa pun, siapa pun, tak mampu untuk merakit kembali puing rintihan yang muncul sejak empat tahun lalu.
‘Aku terkadang masih bisa melihat darahmu memenuhi telapak tanganku. Peristiwa pisau menembus jantungmu selalu berjalan dengan gerakan lambat di memoriku, menyiksa hingga titik terdalam.’
Di tangan kirinya ada satu botol Bacardi, salah satu merek minuman keras. Di tangan kanannya ada satu gelas berbahan kaca kecil. Digenggam erat, terkadang diremas lebih erat saat hati terasa lebih perih dari sebelumnya.
‘Dan gilanya, aku masih terus mendengar suaramu mengatakan bahwa kamu akan bahagia di sana bersama anak kita.’
‘Ya, kamu bahagia di sana bersama anak kita. Bagaimanna denganku? Apakah kamu pernah berpikir tentang kebahagiaanku? Kenapa kamu meninggalkan aku di sini sendiri, Miley? Kamu tahu aku sangat mencintaimu.’
Nama lelaki itu adalah Carleon Cang Mancini. Usianya 28 tahun. Wajah tampan dengan alis tebal seperti golok tajam dengan ceruk mata dalam. Kulit putih bersih membalut badan tinggi dan gagahnya. Semilir angin yang bertiup mengabarkan keharuman maskulinnya.
Ditatap sekilas kita akan terpesona, kita akan terkagum dengan betapa Tuhan mampu menciptakan seorang lelaki dengan keadaan sesempurna Carleon Cang Mancini.
Akan tetapi, benarkah ia sempurna? Karena ….
Kisah hidupnya terlalu pilu.
Ayahnya pergi sejak ia masih kecil. Hidup dengan kakek dan ibu sebagai rakyat miskin di sebuah desa terpencil. Dirundung, dikalahkan pada setiap kesempatan yang bisa membuatnya bersinar.
Kehilangan kakek di saat masih remaja. Satu-satunya sosok yang paling mendekati seorang ayah baginya. Tak lama setelah kehilangan sang kakek, ibunya terkena penyakit paru-paru akibat kelelahan bekerja dan tidak kuat menghadapi musim dingin panjang.
Jauh dari pusat kesehatan, jauh dari memiliki biaya untuk bisa berobat secara layak, ia harus menerima kenyataan bahwa sang bunda meninggal di rumah yang telah membesarkannya.
Ketika ia akhirnya menemukan keluarga besarnya yang hilang, yaitu keluarga Mancini, status sosialnya mulai meningkat. Sang paman bernama Michael Mancini adalah orang terkaya di Eropa.
Dalam sekejap dari yang tidak memiliki apa pun, dari yang dilupakan oleh dunia, sekarang ia dikejar-kejar oleh dunia.
Lalu, apakah kepiluannya berakhir? Tentu saja tidak ….
Jatuh cinta pada seorang wanita bernama Jessica Bailey yang -dikira- telah ditinggal mati oleh sang suami. Hanya untuk menemukan suami tersebut masih hidup dan dialah yang membawanya pulang. Membuatnya harus kehilangan cinta pertama yang benar-benar dirasa bisa mengisi kekosongan dalam jiwa.
Tak apa, kata mereka gugur satu tumbuh seribu.
Kembali jatuh cinta pada seorang wanita bernama Miley Cang. Tak lain adalah anak pungut yang diambil oleh ayah kandungnya. Hanya untuk menyaksikan tragedi mengerikan di depan mata, kembali membuatnya hancur sehancur-hancurnya.
Ayah kandung yang hilang mendadak kembali bersama dua orang adik tiri. Bukan keluarga yang ia dapat, melainkan permusuhan baru karena sang ayah memiliki dendam tersendiri pada keluarga pamannya, yaitu keluarga Mancini.
Kala ia tidak mau mengkhianati keluarga Mancini yang sudah merangkul dan menarik dari lumpur ketika dunia melupakakan keberadaannya, sang ayah mengamuk, menuduhnya pengkhianat, bahkan berniat membunuhnya.
Untung saja semesta masih berpihak padanya. Alam membuat Miley Cang jatuh cinta padanya hingga menyelamatkan sang Tuan Muda dari kematian. Akan tetapi, perbuatan itu membuat wanita cantik tersebut berakhir dengan cap pengkhianat.
Asasinasi! Tak ada tempat bagi pengkhianat untuk keluarga sang ayah kandung.
Carleon masih sangat jelas mengingat setiap detail detik-detik kepergian istrinya tersebut. Baru saja menikah lima jam yang lalu, dan hanya sepanjang itu saja usia pernikahannya.
Diserang saat dalam perjalanan pulang dari lokasi pernikahan menuju hotel, adik tirinya bernama Craig menikam d**a Miley dengan sebilah pisau hingga jantung tersayat robek, seketika memuntahkan darah segar tak bisa dihentikan.
Ia juga masih sangat ingat bagaimana Miley menunjukkan hasil test pack garis dua pada detik-detik terakhir masih memiliki nyawa, di antar embusan napas tersengal. Suara keluar di antara mulut yang terus mengeluarkan cairan merah.
Seharusnya hal itu menjadi hadiah terindah bagi pernikahan mereka, bahwa Carleon Cang Mancini Junior akan segera datang.
Akan tetapi, semua hanya menjadi kenangan paling pahit yang mengantui tiap malam dalam sebuah mimpi buruk tak berkesudahan.
Carleon masih terus merasakan tubuh Miley dalam pelukannya. Masih mampu merasakan hangatnya, ketika ia dekap sangat erat dan sampai di rumah sakit, lalu dinyatakan … tak bernyawa.
Istrinya tersebut meninggal dalam perjalanan, dalam dekapannya. Dalam ketidakmampuannya untuk melindungi, untuk menjaga … ia tidak berdaya ... entahlah.
Sebuah perasaan bersalah yang tak pernah bisa hilang meski apa pun yang terjadi.
“Miley … Baby-ku sayang, apa kamu tahu aku selalu merindukanmu?” lirih sang CEO dari sebuah perusahaan yang bergerak di bidang teknologi -terbesar di Eropa- bernama Energica Technology.
Karena rindu itu, dia nyaris terbangun setiap malam dalam jerit kehilangan. Napas tersengal hebat, keringat dingin bercucuran, dan air mata … berlinang.
Jika untuk tidur saja harus menggunakan bantuan alkohol, maka mimpi buruk yang biasa didapat menjelang matahari terbit membuatnya kembali terjaga dan tak lagi bisa tertidur.
Untuk menutupi lingkaran hitam di sekitar matanya, Carleon terpaksa menggunakan kacamata tanpa ukuran. Tak ingin ada yang menanyakan kenapa ia terlihat seperti orang yang terus menerus memiliki masalah insomnia.
Apalagi, saat ini perusahaan Energica Technology yang ada dalam pimpinannya sedang mengalami masa-masa terburuk akibat korupsi yang merajalela, serta drama penuntutan ini dan itu.
Ia harus terlihat fit dan berkapabilitas untuk menyelesaikan semua masalah yang terjadi. Jangan sampai wajah lelahnya terlihat dan menjadi pertanyaan bagi banyak pihak.
“Aku harus bersahabat dengan kamu dan sahabat-sahabatmu supaya bisa tidur nyenyak,” tawa Carleon miris memandangi botol Bacardi di tangan kirinya. “Kamu, JD, Whiskey, Tequilla, apa lagi? Apa ada yang belum kusebut?” gelaknya jelas sudah mulai mabuk.
Iya, sejak empat tahun lalu Tuan Muda Mancini ini harus berjibaku dengan minuman keras agar bisa tidur nyenyak. Menolak bantuan medis apa pun karena tahu tak ada bantuan seprofesional apa pun yang bisa menyembuhkan luka hati.
Sampai kapan pun luka itu akan terus terbuka menganga … berdarah.
Wajah tampannya menengadah ke udara. Ia lukis paras manis sang mendiang istri di antara bintang terang. Senyum indah, mata lebar berbinar, rambut hitam panjang nan harum, lalu ia dendangkan tawa renyah seorang Miley Cang di angan khayal.
Sesak kembali merajai dan kian menggulungnya dalam badai kepedihan setelah ia melihat sosok molek itu bermain di antara awan perak bersiram sinar bulan.
“Aku lelah terus berada di perasaan ini, tertekan oleh kenyataan bahwa aku tak mampu menyelamatkanmu.”
Tawa sedihnya kembali terlontar, terlalu pilu. Menyakitkan bagi siapa saja yang mendengarnya. “Kalau memang kamu harus pergi, kenapa semesta tidak membuat kenanganmu hilang dari batinku?”
“Karena kehadiranmu masih terus mewarnai hari-hariku, tak mau meninggalkanku sendiri. Aku tak tahu lagi bagaimana bisa melarikan diri darimu. Apa semua ini karena aku terlalu mencintaimu?”
“Kata mereka, waktu akan menyembuhkan semua luka. f**k them! f*****g liar! Pembohong b******k!” kekehnya menggeleng frsutasi. “Aku tak bisa sembuh meski empat tahun berlalu.”
Ia tuang sedikit isi Bacardi ke dalam gelas, lanjut tertawa sambil menahan isak. “Luka ini sepertinya memang tak akan pernah bisa sembuh, Baby Apa tusukan pisau Craig Cang di dadamu terlalu dalam hingga turut menusukku? Karena sakitnya terlalu nyata hingga kini.”
Meneguk dua kali, mengusap bibir basah dengan punggung tangan, lalu embusan panjang penuh keresahan dan beban teramat berat meluncur cepat dari bibirnya.
“Kamu dulu mengikatku dengan cahaya terang. Cahaya itu berasal dari senyum serta cinta tulus yang kamu berikan bagiku. Cahayamu itu memantul di setiap sisi kehidupanku. Sedalam itulah arti dirimu untukku, Miley Cang Mancini ….”
“Sekarang? Aku tetap terikat padamu … terikat pada kehidupan yang telah kamu tinggalkan di belakang. Pada kehidupan yang … tak lagi ada.”
Carleon tersenyum sakit. Air mata menetes satu butir dari mata sebelah kanan tanpa bisa ia cegah. “Setiap satu tahun sekali, selalu di tanggal ini, aku akan datang ke tempat kenangan kita ini, Baby”
“Tempat di mana kamu memberikan aku kehidupan untuk kedua kalinya. Tempat di mana kita jatuh cinta. Tempat di mana semua itu bermula ….”
Ia terisak, tak ingin lagi menahannya. Selama satu tahun menahan rindu, isak, pilu, kehilangan, dan semua perasaan kesedihan. Kali ini, khusus malam ini, biarlah semua terluapkan tanpa harus ditahan lagi.
“Wajah cantikmu selalu muncul di setiap mimpi burukku. Tidakkah kamu mengerti itu? Suara manjamu terus mengejar seluruh kewarasanku! Aku tersiksa karenanya, Miley! Aku menderita karenanya!”
"Aku menderita … menderita karena kamu telah meninggalkanku di saat aku sedemikian jatuh cinta padamu! Di saat aku mengira semesta akhirnya mengijinkanku untuk bahagia!”
Isak tertahan itu kini telah berubah menjadi sebuah tangisan lirih. “Aku terus mengatakan pada diriku sendiri, bahwa kamu telah tiada di dunia ini. Dan aku terus mengatakan pada diriku sendiri, bawha kamu tetap hidup dalam jiwaku.”
“Tapi, meski aku sudah mengatakan begitu pada diriku sendiri, kamu tak tahu betapa aku tetap merasa seorang diri tanpa kehadiranmu! Walau seramai apa di sekelilingku, aku selalu kesepian!”
“AKU KESEPIAN TANPAMU, MILEY! I’VE BEEN ALONE ALL THIS TIME!” teriak Marlon, menyuarakan kehancurannya dengan nyaring di udara malam yang sepi.
Ia merintih ….
Ia bisa menghancurkan beton kokoh di lantai bertingkat dengan pukulan tangan kosongnya, tetapi tak bisa menghancurkan rasa sakit kehilangan dalam jiwanya sendiri.
“Tuhan … sampai kapan Engkau akan menyiksaku seperti ini? Ambil saja nyawaku jika memang Engkau tak ingin meniadakan kenangan Miley di hatiku! Aku tak sanggup …,” tangisnya terisak.
“EMPAT TAHUN DAN TAK PERNAH SATU HARI PUN AKU TAK MEMIKIRKANNYA! TAK SATU HARI PUN HATIKU TIDAK SAKIT KARENANYA! AKU TIDAK SANGGUP, TUHAN! AKU TIDAK SANGGUP!”
Carleon menjerit kencang dan tanpa sadar meremas gelas kaca di tangan terlalu keras hingga pecah detik itu juga. Serpihan kaca aneka bentuk dan ukuran sontak menusuk tangannya hingga membuat luka sobek di beberapa bagian.
Menoleh kaget ke tangan kanannya yang terasa perih dan mengucurkan darah segar, ia justru tertawa. Tangan kiri diangkat dan ia meneguk langsung Bacardi dari dalam botol karena tak ada lagi gelas yang bisa digunakan.
Malam ini adalah malam peringatan kematian Miley Cang Mancini yang keempat.
Berawal dari sinilah cinta keduanya terbentuk. Dari betapa perhatian Miley menyembuhkan kakak angkatnya. Dari keceriaan dan betapa seringnya ia menggoda hingga membuat Carleon salah tingkah.
Carleon akan duduk di batang kayu yang hingga detik ini masih ada di pinggir danau. Dulu, ia dan Miley sering duduk di sini menikmati langit senja atau indahnya bintang malam seperti sekarang.
Otaknya sudah dipenuhi dengan genangan alkohol. Tak ada lagi kewarasan malam ini. Yang ada hanya bayangan serta kenangan mengerikan. Waktu itu, gelang hadiah ulang tahun pemberian Miley ini pun jadi berwarna merah terkena darah dari jantung, keluar mengalir melalui koyakan lebar di d**a sang wanita.
Melempar botol Bacardi kosong ke arah pepohonan, suara hancurnya botol tersebut terdengar nyaring. Disusul dengan tawa perih Carleonyang juga terdengar nyaring.
Sang CEO tampan tersebut kemudian merebahkan tubuhnya di atas batang kayu bersejarah. Gumamannya terdengar sangat pilu, “Kalau kamu memang sudah tak lagi di sini, aku mohon pergilah ….”
“Berhentilah mengikatku dengan kehidupan yang telah kamu tinggalkan, Baby.”
“Aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku sangat mencintaimu …,” ulangnya sebanyak tiga kali. “Tapi, berhentilah hadir setiap malam dalam mimpi burukku karena aku hanya ingin mengingat keindahanmu!”
Sedemikian hancur hidup seorang Carleon Cang Mancini. Bahwa segenap kekayaan dan tingginya jabatan yang ia miliki saat ini tak mampu menjadi penyembuh luka hati yang terlanjur terkoyak sangat lebar akibat peristiwa mengerikan tersebut.
Ia kembali tertawa dalam tangis. Menertawakan diri sendiri yang ternyata sedemikian lemah karena tak mampu melanjutkan hidup tanpa bayangan masa lalu kelam.
Mata dirasa sangat berat, teramat berat. Perlahan ia tutup dan sama sekali tak peduli jika mendadak ada musuh datang untuk membunuhnya.
Pada detik-detik seperti ini, di mana kesadaran sudah hilang entah ke mana, di mana hidup terasa terlalu menyakitkan untuk ditanggung seoarang diri, ia kerap berharap malaikat maut datang mencabut jiwa hingga ia tak perlu lagi merasakan sakitnya kehilangan Miley ….
Punggung rebah di atas batang kayu, tangan terjuntai ke atas kerikil basah di pinggir danau. Tetesan darahnya mengenai bebatuan kecil tersebut, menodai kenangan terindah yang ia miliki bersama Miley di sini.
Carleon hanyut bersama arus kesedihan. Kesadarannya sudah hilang ditelan minuman beralkohol bernama Bacardi yang kini baik botol maupun gelasnya sudah pecah tersebar ke berbagai penjuru danau.
Ia terlelap dengan air mata masih nampak basah di sekitar pelupuk. Tak apa, mabuk seperti ini akan membuatnya tidur nyenyak dan tidak lagi bermimpi buruk mengenai momen kematian Miley.
“Baby, Baby …,” engahnya memanggil dengan nama kesayangan bagi mendiang istri.
Setelah beberapa menit berlalu ia tak lagi bergerak, setelah ia kemudian benar-benar terlelap, mendadak munculah bayangan dari balik pepohonan.
Beberapa orang lelaki dengan senjata lengkap di tubuh mereka keluar dari gelapnya hutan yang mengelilingi danau. Berpakaian serba hitam, memakai longcoat panjang dengan aksen bulu hewan tebal di bagian pundak.
Salah satu dari mereka yang terlihat sebagai pemimpin berjalan lebih dulu di depan. Ada sebilah pedang panjang bertengger di punggung. Pedang yang telah merenggut ratusan nyawa musuh.
Mereka kemudian berdiri mengelilingi raga Carleon yang sudah terkapar lelap tak sadarkan diri di atas batang kayu panjang dan lembab.
Pemimpin para lelaki tersebut memandang lekat, tersenyum dingin, kemudian berucap, “Dia sudah mabuk berat dan tak sadarkan diri. Segera bawa ke dalam mobil dan kita pergi dari sini.”
“Baik, Tuan!”
BERSAMBUNG