bc

Niat Menyamar Malah Dilamar

book_age16+
249
FOLLOW
1.2K
READ
HE
kicking
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Menulis online menjadi kegemaran baru Lintang Astuti--pemilik sekaligus designer perusahaan garmen. Terlebih, perusahaannya sekarang sudah mempunyai sistem terbaru, hingga membuat dirinya memiliki waktu luang yang banyak. Kesempatan inilah yang digunakan untuk menulis cerita fiksi di media sosial dan platform. Mengangkat tema seperti selera pasar, membuat Lintang Astuti akhirnya melakukan riset menjadi pembantu di Keluarga Kaya. Apakah Lintang berhasil dalam riset menulisnya? Atau, mendapatkan sesuatu yang mengejutkan?

chap-preview
Free preview
Cacat Logika
"Nama kamu bagus. Lintang Astuti. Saya panggil kamu, apa?" tanya wanita tua di depanku. Aku mengangkat dagu, menatapnya. Dia duduk tegak dengan kepala mendongak, baju kebaya berhias bordiran dan rambut berwarna hitam semburat putih disasak ke atas, terlihat jelas, dia seorang priyayi. "Ditanya kok malah bengong!" Suara kerasnya mengalihkan perhatianku. "As-Astuti saja, Bu." Aku langsung duduk dengan menegakkan badan, namun kepala kembali menunduk menatap lantai. "Panggil saya, Den Ajeng. Kamu ini tidak bisa masak, tapi pintar bersih-bersih, benar?" "Iya, Den Ajeng." "Saya juga tidak butuh tukang masak! Kerjaan kamu membersihkan rumah, jangan sampai ada debu. Kalau nyapu, dirapikan juga. Pembantu yang dulu, kerja tidak pakai otak. Dia nyapu, tapi meja, buffet dan lemari tidak dibersihkan! Kamu beneran bisa bersih-bersih?!" "Bisa." "Saya tidak suka pembantu jorok, bau, apalagi ganjen. Di rumah ini, ada anak saya laki-laki. Sekarang, bawa bawaanmu ke kamar yang di ujung. Satu jam lagi, saya tunggu. Cepat!" "Iya, Den Ajeng," jawabku, kemudian langsung ke belakang dengan membawa tas lusuh berisi pakaian. "Eh, kamu sini dulu!" Teriakannya menghentikan langkahku. Aku berbalik menghampirinya. "Jangan meninggalkan saya bicara dengan memunggungi saya. Kamu harus mundur dulu, baru balik badan. Ngerti?!" Aku terperangah mendengarnya, ini hal baru untukku. Aku mengangguk dan melakukan apa yang diperintahkan, mundur beberapa langkah kemudian berbalik menuju kamar. Suasana terasa berbeda. Terasa jelas, sikapnya menjaga jarak antara majikan dan pembantu. Ada aturan khusus yang baru aku mengerti. Aku suka ini. * Masih ada waktu tiga puluh menit, aku sudah merapikan kamar kecil yang ditunjukkan tadi. Bersih, rapi dan lumayan nyaman, walaupun jauh dari kamarku di rumah. Di sini hanya ada jendela kecil menghadap halaman belakang, tidak seperti kamarku dengan jendela lebar menghadap kolam renang dan taman. Yah, di sinilah aku terdampar. Aku ingin riset melengkapi bahan tulisanku sekarang, tentang pembantu yang teraniaya. "Gila kamu, Lintang! Beneran ingin jadi pembantu beneran? Serius?!" protes Laila temanku, beberapa hari yang lalu. Dia mempunyai perusahaan penyedia tenaga kerja, biasanya perusahaanku mencari penjahit di sana. Aku minta tolong untuk mencari majikan yang rewel. "Beneran. Aku serius, La. Aku sudah riset dengan ngobrol dengan pembokat, tapi aku tidak dapat feelnya. Walaupun, aku menulis fiksi, jangan sampai cacat logika. Iya, kan?" "Tapi, kagak sampai gitu, kali! Kuat, kamu?" Laila memastikan lagi "Kalau bersih-bersih, itu hal kecil bagiku. Asal jangan masak, ya? Laila, semakin orangnya rewel semakin aku suka. Ingat, ya!" Aku memang mempunyai usaha garmen yang sudah bersistem. Dasar design sepenuhnya dariku dan akan dikembangkan tim design. Sudah ada tim pemasaran, tim produksi, dan ada direktur operasional yang menjalankan keseharian perusahaan. Tugasku hanya kebijakan umum, kontrol dan memberikan design di setiap musim. Itu saja. Seterusnya, aku nganggur! Saat masuk musim pemasaran dan produksi, aku mempunyai luang untuk menulis karangan fiksi. Awalnya hanya iseng, dan sekarang semakin asyik. Dalam segala pekerjaan, aku menuntut kesempurnaan, termasuk dalam menulis. Aku tidak mau nanti dibully karena masuk akal. Bisa malu, apalagi tulisan ini di posting di internet, yang jejak digitalnya seumur hidup. Karena itulah, risetku ini harus sempurna. Semua properti disiapkan oleh Laila, mulai dari tas bekas, baju lusuh, sandal jepit trepes, dan ponselku diganti ponsel jadul. Bahkan selama dua minggu, aku dilarang menggunakan lotion atau perawatan kulit lainnya. Beneran dia ngerjain aku. "Melamar pembokat harus total, pembokat itu kulitnya kagak mulus, kukunya juga bukan bekas meni pedi kayak ini! Supaya penyamaran kamu kagak cacat logika!" papar Laila Demi riset, aku turuti anjurannya. Mbak di rumah sampai heran, aku ikutan bersih-bersih juga. Pekerjaan seperti ini, sebenarnya bukan hal berat untukku yang menyukai kebersihan dan kerapian. Teman-temanku sampai menyebutku penderita OCD, hanya gara-gara ini. "Astuti! Astuti!" teriakan dari Den Ajeng. Akhirnya, aku harus bersiap memulai riset. * Pekerjaan pertama, aku membersihkan dan merapikan ruang kerja anaknya. Selama bekerja, majikanku ini menunggui sambil bercerita tentang keseharian, termasuk anak semata wayangnya ini. Dia bernama Raden Langit Baksoro. Kesehariannya di perusahaan batik yang sebelumnya dikelola bapaknya--suami Den Ajeng. Sejak suami Den Ajeng meninggal dua tahun yang lalu, Den Langit yang masih kuliah terpaksa berhenti dan konsentrasi di perusahaan warisan itu. "Kasihan Langit, dia tidak bisa menikmati masa mudanya. Saya pun membantu, walaupun hanya sekedar mengelola keuangan. Itu pun sepertinya tidak sanggup lagi. Langkah Langit begitu cepat, saya tidak bisa mengimbangi," ucapnya dengan menatap jendela. Aku mendengarkan keluh kesahnya sambil menata file yang berantakan sesuai dengan abjad, dan merapikan map di meja disamakan dengan warna sampul. Kebiasaanku saat bekerja, entah ini sesuai atau tidak. "Sekarang saya bingung, Langit membuka pemasaran ke luar negeri. Pembayaran tidak menggunakan rupiah lagi. Orang Singapur minta rekening dollar, orang Jepang minta rekening yen, malah orang Perancis minta rekening euro. Pusing, saya!" Majikanku ini, memijit pelipisnya sambil memejamkan mata. Aku menoleh ke arahnya, apa yang dipusingkan? Mendapat pemasukan, kok malah bingung. "Saya kemarin ke bank langganan, dia hanya mempunyai rekening dollar US. Jadi, kalau ada yang kirim yen, harus diputer dulu ke dollar, itu pun saat penarikan, diputer lagi jadi rupiah. Pusing saya nulis di laporan," ucapnya lagi. Sekarang tidak hanya memijit pelipis, tetapi berpindah memijit kepala dengan kedua tangannya. "Eh, Astuti! Kenapa saya malah curhat ke kamu, ya. Mana tahu kamu tentang dollar, euro, yen, atau rekening bank!" Satu sudut bibir ditarik ke atas, kemudian dia berjalan mendekati jendela dan berguman, entah apa. Aku menjadi kasihan. "Ada tabungan multicurrency namanya. Tabungan dengan dua belas mata uang dalam satu rekening, Den. Kita juga bisa mencairkan dalam bentuk rupiah atau dalam mata uang asing. Tukar valas juga bisa lewat online!" celetukku dengan semangat. Den Ajeng langsung menoleh ke arahku dengan kedua alis bertaut. "Darimana kau tahu?" Duh! Harusnya aku tetap bersikap tidak tahu. Kalau seperti ini, penyamaranku menjadi cacat logika. Gajah mangan kawat tenan, iki. Gawat! ******

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
96.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook