bc

Cintaku Melawan Restu

book_age18+
301
FOLLOW
2.1K
READ
family
HE
curse
blue collar
drama
bxg
childhood crush
like
intro-logo
Blurb

Cherry selalu mencintai Martin sejak mereka duduk di bangku SMA. Namun, kisah cinta mereka harus terjeda karena Martin harus melanjutkan sekolah kedokteran di luar negeri selama bertahun-tahun. Ketika Martin bertemu kembali dengan Cherry setelah menjadi dokter spesialis saraf, dia kembali menjalin kasih dengan gadis cinta pertamanya. Sayang sekali, pekerjaan kekasihnya yang hanya seorang penyanyi bar menjadi batu sandungan bagi restu orang tua Martin. Kedua orang tua dan saudara kandungnya membenci Cherry yang mereka anggap gembel serta matre. Seharusnya Martin bisa mendapatkan jodoh yang lebih baik dan sepadan dengannya. Mereka menjodohkan Martin dengan Rihanna yang memiliki pekerjaan sebagai PNS di kantor dinas pemerintah dan bergaji besar.Cinta itu diperjuangkan oleh Martin dan Cherry hingga mereka bisa menikah. Namun, itu hanya membawa Cherry kepada banyak derita karena ulah keluarga besar Martin. Saat kesabarannya habis, Cherry kabur dari rumah mertuanya tanpa pesan.Setelah beberapa tahun berlalu tanpa sengaja Martin bertemu di bandara dengan Cherry bersama seorang bocah laki-laki dan seorang pria tampan bertubuh tegap. Anak siapakah bocah laki-laki itu? Bagaimana Martin memperjuangkan cinta sejatinya agar kembali lagi bersamanya? Masih adakah cinta melawan restu yang ingin Cherry satukan kembali dengan pria dari masa lalunya itu?

chap-preview
Free preview
Bagaikan Layangan Putus
"Horeee kita lulus!" teriak pemuda jangkung berparas rupawan itu kepada gadis yang ada di sebelahnya sembari memeluknya erat. Martin mencuri sebuah kecupan yang numpang lewat di bibir ranum merah muda pacarnya. Binar kegembiraan bercampur kelegaan menghiasi raut-raut wajah belia pelajar SMA Negeri 1 Perintis. Sorak sorai dan derai tawa membahana di lapangan sekolah. Mereka merayakan kelulusan SMA dengan saling menyemprotkan pilox warna warni dan menulisi seragam putih abu-abu rekannya menggunakan spidol. Sebuah tulisan dengan pilox warna merah jambu 'Martin LOVE Cherry' itu menghiasi punggung seragam putih gadis berambut hitam panjang yang diikat model ekor kuda. "Iiihh ... kamu nulis apaan sih, Tin?!" rajuk Cherry dengan pipi bersemu merah muda sambil mengulum senyumannya. Dia membalik badannya untuk menatap wajah kekasihnya yang menyengir bandel ke arahnya. "Ada deh ... ntar bacanya kalau kamu sudah sampai rumah dong biar surprise!" jawab Martin lalu merangkul bahu Cherry. Dia mengajak gadis itu menuju ke parkiran sekolah. Sebuah mobil sedan vintage warna biru telur asin yang selalu menemani Martin berangkat ke sekolah 2 tahun terakhir ini terparkir di sana bersama deretan mobil yang lebih modern serinya milik teman-temannya. "Silakan naik, Tuan Puteri!" ucapnya dengan gaya lebay nan alay mengayunkan tangan kanannya usai membuka pintu mobil untuk pacarnya. Cherry terkikik menutupi mulutnya dengan telapak tangannya. "Gaya kamu lho, Tin!" tukasnya lalu menempatkan dirinya di bangku sebelah pengemudi. Martin menutup kembali pintu mobilnya lalu berlari kecil mengitari bagian belakang untuk naik ke sisi samping bangku Cherry. Dia segera menjalankan mobil kesayangannya sambil bersenandung riang. "Kita mau ke mana nih, Cayang?" tanya Cherry penasaran karena arah pulang ke rumahnya seharusnya ke kiri, tetapi kekasihnya membelok ke kanan. Pemuda ganteng itu pun menyahut sembari mengecup tangan kekasihnya, "Mau jalan-jalan dong buat ngerayain kelulusan kita. Udah ... pokoknya aku mau bawa kamu ke tempat yang unforgettable, sabar ya!" Mobil itu pun melaju melalui jalan-jalan yang naik turun dengan kanan kiri ditumbuhi pohon cemara. Seolah menghayati perjalanan mereka, Martin pun menyanyikan lagu 'Naik-Naik Ke Puncak Gunung' dengan suaranya yang merdu pas-pasan. Kekasihnyalah yang memiliki suara emas dan sering menjadi juara menyanyi bintang SMA. Garis tawa itu seakan tak ingin memudar dari wajah ayu kekasihnya, Martin sangat mencintai Cherry. Dia merasa sedikit galau karena pengajuan beasiswanya berkuliah ke luar negeri telah disetujui. Martin merahasiakannya dari Cherry karena takut membuat gadis itu sedih memikirkan kisah cinta mereka yang entah bagaimana lagi harus menjalaninya selain LDR. "Nah, sampai deh kita!" seru Martin mematikan mesin mobilnya di sebuah tebing berpemandangan indah yang ada di daerah Puncak. Dia mengajak Cherry turun lalu mereka pun duduk di atas kap depan mobilnya. Angin segar pegunungan yang dikelilingi hutan cemara itu berhembus menerpa tubuh mereka. Cherry pun bergidik kedinginan. Dengan pengertian Martin mencopot jaket denimnya yang berwarna biru tua lalu memakaikannya ke badan kekasihnya. "Makasih, Cayang!" ucap Cherry sembari melepas senyum manisnya. Dia lalu berkomentar, "Tin, tempatnya bagus banget deh. Kamu kok tahu sih? Sering ke sini?" "Pernah dua kali sama anak-anak, tapi naik motor trek malam-malam jadi nggak ngajakin kamu, Cher!" Martin mengedarkan pandangannya ke pemandangan sekeliling yang menghijau. "Btw ya, kamu mau lanjutin kuliah di mana, Tin?" tanya Cherry penasaran karena selama ini memang mereka tak pernah membahas hal tersebut. Martin selalu berkelit tak ingin memberi tahu rencana studi selanjutnya. Pemuda itu menghela napas dalam-dalam. Dia menoleh menatap Cherry lekat-lekat lalu menjawab, "Jauh, Cher. Ke Perth, Ausie!" Jawaban tak terduga yang didengarnya sontak membuat Cherry lunglai. Wajahnya tertunduk tanpa kata. Dia jelas tak mungkin membersamai pemuda yang menjadi cinta pertamanya itu. Pasrah, satu kata itu yang terpampang nyata dalam benaknya. "Cher ... Cher ... kamu nggakpapa 'kan? Kok diem aja?" Martin menggoyang-goyangkan lengan gadis yang tengah melamun itu. Cherry merasa ada rasa dingin yang meremas hatinya. Dia pun dengan ekspresi datar berkata, "Berangkat kapan ke sana? Berarti kita putus 'kan habis kelulusan SMA—" "CHERR!!" seru Martin merasa seakan tertampar oleh realita perkataan kekasihnya. Sepasang lengannya meraih tubuh ramping Cherry ke dalam dekapannya. Tak terasa air matanya luruh. Laki-laki tak sepantasnya menangis, tetapi masa bodoh pikirnya. Perasaan takut kehilangan seseorang yang dicintainya itu sakitnya tak tertahankan. "Tin. Please, kita nggak ada masa depan buat tetap bersama. Perbedaan kita terlalu jauh, orang tuaku nggak bakal mampu sekolahin aku keluar negeri ... emm ... buat lanjut kuliah aja, sepertinya berat. Kemampuan akademikku juga pas-pasan, otakku nggak seencer kamu. Udah dong nangisnya, masa cowok segede kamu mewek begini?!" Cherry menepuk-nepuk lembut punggung pemuda yang bergetar karena tangisnya. Dia lebih tegar karena memang hidupnya keras dan dipaksa keadaan untuk selalu kuat sedari kecil. Martin membersit ingusnya dengan tissue yang disodorkan oleh Cherry. 'Sialan! Malu deh nangis di depan cewekku,' batinnya kesal kepada dirinya sendiri yang cengeng dan baperan padahal dia laki-laki. "Lalu kalau kamu nggak kuliah, mau ngapain dong, Cher?" balas Martin tak bisa mengerti apa yang akan dikerjakan oleh pacarnya itu. Gadis itu melayangkan pandangannya jauh ke awan-awan putih yang bergerombol yang berlatarkan langit lembayung senja. "Aku bisanya cuma nyanyi, mungkin sama bantu-bantu di warteg ibuku sambil cari kerjaan nanti apa deh gitu yang bisa pake ijazah SMA, Tin!" jawabnya tanpa merasa malu. Memang kehidupannya seperti itu yang dijalaninya sehari-hari. Dua adiknya pun masih sekolah di kelas 2 SMP dan kelas 5 SD, butuh banyak biaya pastinya. "Maafin aku ya, belum bisa bantu kamu dan juga keluarga kamu, Cher," ujar Martin dengan nada penyesalan. "Ehh ... apaan sih, Tin. Itu sama sekali bukan masalah buat kamu. Memang kondisi keluargaku begini. Aku juga nggak bisa milih buat dilahirin di keluarga yang mana 'kan?" sergah Cherry sembari tertawa kering menghindari tatapan mata jernih pemuda yang dicintainya. "Kita bisa keep in touch via email atau WA juga, Cher. Zaman sudah maju, jarak nggak akan terasa jauh asal kita mau jalani sama-sama!" Martin tak ingin putus hubungan dengan sosok yang telah 3 tahun ini mengisi hari-hari indah masa remajanya. Dia merengkuh tubuh gadis itu hingga kepala Cherry rebah di dadanya. Cherry hanya mengangguk patuh sekalipun dia tak yakin. Bisa saja pacarnya itu kecantol cewek baru di luar negeri. Perempuan bule pastinya lebih cantik dibandingkan dirinya. Dia harus merelakan kisah cintanya usai di sini. Cherry pun berpikir, mungkin benar kata pepatah bila cinta tak harus memiliki, mengetahui bahwa orang yang kita cintai bahagia saja itu sudah cukup. *** "Permisi, Tante Femmy. Apa Martin ada di rumah?" ucap Cherry dengan santun di teras depan rumah pacarnya pagi jelang siang itu. Raut wajah Nyonya Femmy Bintoro nampak judes, dia sedari dulu memang tidak menyukai anak tukang ojek dan pemilik warteg yang berpacaran dengan puteranya. Dia bersedekap memandangi gadis itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Ngapain kamu cari Martin hahh?!" hardiknya kasar. "Ehh ... sa—saya cuma mau ketemu Martin aja, Tante," jawab Cherry takut karena mama pacarnya galak. Dia sebetulnya semalam ketiduran dan terlambat membaca pesan pemuda tersebut yang berpamitan dengannya karena harus berangkat ke Australia. "Huhh ... sono kamu terbang ke Perth kalau mau ketemu sama si Martin. Bocahnya sudah di pesawatlah. Penerbangan pagi jam 7, siap-siapnya dari sebelum ayam berkokok buat ke bandara!" jawab Nyonya Femmy Bintoro kesal. Sudah siang baru gadis itu kelabakan mencari puteranya, telat! Mendengar bahwa Martin sudah berangkat beberapa jam yang lalu, lutut Cherry terasa goyah. Dia tak sempat mengucap selamat jalan karena seharian kemarin sibuk membantu warteg ibunya yang mendapat pesanan nasi box 300 pack untuk makan malam acara kumpul warga di balai desa. "Hey, kamu tuli ya? Pulang sana, buang-buang waktuku aja! Ohh ya, lebih baik jangan hubungi Martin lagi biar dia fokus sekolah. Memang sekolahnya beasiswa, tapi biaya hidup di Australia masih kami orang tuanya yang tanggung 'kan. Amit-amit kalau sampai gara-gara sibuk pacaran sama kamu, dia nggak lulus kuliah!" sindir mama Martin memberi peringatan kepada Cherry dengan tatapan sinis. Hati Cherry sakit. Seperti tanaman yang dicabut paksa, kisah cintanya layu sebelum berkembang. Dia pun mengucap lirih mengiyakan perkataan Nyonya Femmy. "BLAMM!" Pintu teras depan dibanting hingga menutup di hadapan Cherry yang masih berdiri mematung seolah kakinya terpaku enggan untuk digerakan sementara tak ada lagi yang bisa dia lakukan di tempat itu. Lima menit setelahnya, Cherry melangkah pergi dari rumah berhalaman asri itu dengan hati dan pikiran yang kosong tak tahu harus ke mana bagaikan layangan putus.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
98.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook