bc

Tanah Makamku masih Basah, Mas....

book_age18+
90
FOLLOW
1K
READ
HE
arranged marriage
confident
blue collar
bxg
serious
brilliant
campus
another world
childhood crush
civilian
like
intro-logo
Blurb

"Jangan berkeliaran saat Magrib."

Begitu pesan orang tua dulu. Apalagi saat hamil. Bahaya. Karena saat itu dimensi lain sedang kuat-kuatnya memiliki pengaruh di dunia manusia. Sarah tak mengindahkan itu demi memenuhi keinginan ngidamnya.

Sejak hamil dan ngidam, Sarah sering kali bersikap berlebihan. Dia manja dan meminta sesuatu dengan cara memaksa, tanpa melihat bagaimana kondisiku yang letih. Aku yang merasa hal itu tak benar, akhirnya memberi Sarah pelajaran dengan bersikap tegas. Kuminta ia pergi sendiri membeli martabak kesukaannya. Namun, penyesalan tak berujung setelahnya menyiksaku. Dia pergi, dan tak pernah kembali.

chap-preview
Free preview
Terlalu Manja
[ Mas masih lama? ] [ Hari iniii aja, jangan ambil lembur, ya! Plisss .... ? ] [ Aku udah ngiler banget pengen makan martabak manis ] "Sarah, Sarah, kapan kamu mandiri, sih? Heuh," gumamku mengeluh, memprotes pesan yang dikirimnya. Aku hanya bisa mengeluh pada diri sendiri. Tak berani membalas pesannya, dan mengekspresikan protes atas permintaannya. "Sudahlah. Tak usah dibalas, biar Sarah mikir sendiri." Memang dia jarang manja begini, tapi mbok yo lihat-lihat. Menjelang Bulan ramadhan begini, pekerjaan suaminya akan berlipat ganda dari biasa. Kadang malah, pengiriman over load dan baru selesai setelah lebaran, karena kami tidak sanggup menyelesaikan saking banyaknya. Entahlah, mau marah pada emak-emak penikmat belanja online, tapi dari mereka kami masih tetap mendapatkan pekerjaan dan bisa makan. Aku menghela napas berat, begitu melihat ke layar ponsel yang sedari berdering, dan kuabaikan karena masih berada di atas motor untuk mengantarkan pesanan. Ya, pekerjaanku hanyalah seorang kurir. Pekerjaan utama yang kuandalkan untuk menghidupi istri dan calon anak kami dalam kandungannya. Anak pertama kami, yang sudah kami tunggu kehadirannya bertahun –tahun. Itu pasti hal yang menjadi alasan Sarah untuk bermanja –manja ketika ngidam begini. Dia pikir aku akan terus luluh dan mengutamakannya dibanding pekerjaan. Padahal, dia harusnya mikir tanpa kerja, kami makan apa? Tampak di layar ponsel, sebuah kontak dengan foto profil perempuan hamil bergerak-gerak. Hanya ada dua pilihan, mengangkat atau mengabaikannya? Kalau sampai merejectnya, sudah pasti pemilik kontak bernama "Istriku” itu akan ngambek. Dan urusan semakin panjang. Ah, malas sekali. Setelah berjam-jam mengabaikan pesannya, wanita yang sudah kunikahi sejak lima tahun lalu itu akhirnya tak sabar, dan melakukan panggilan. Tapi, karena sibuk kuabaikan saja dan mematikan nada dering agar tak mengganggu. Bahkan kadang kali pula terpaksa kublokir nomor istriku yang tidak pengertian itu, agar pekerjaan bisa terus berjalan. Bagaimana kalau dia marah? Aku akan minta maaf dan bilang baterai –nya low bat. Untung saja Sarah itu mudah sekali dirayu ketika marah. Itulah salah satu kelebihannya menjadi seorang istri. Lembut dan penyayang. Andai punya dua ponsel, untuk bekerja dan untuk urusan pribadi. Sehingga panggilan dan pesan dari Sarah tidak menghambat pekerjaan kala melihat alamat dari aplikasi. Namun, gaji kami ini berapa sih? Kalau ada uang lebih, pasti kubelikan motor bekas saja agar Sarah tidak terus merengek padaku saat ingin pergi seperti sekarang. ___________________________ Sekitar jam empat sore, pekerjaanku sudah selesai. Dan seperti biasa pihak ekspedisi mengizinkan pulang. Meski tak lembur, tetap saja rasa lelah memenuhi sekujur tubuh. Langit mendung dan semilir angin pertanda akan hujan menemani perjalanan menuju rumah. Tak ada yang kuinginkan setelah sampai, selain merebahkan tubuh, agar rasa lelah ini segera sirna. Untungnya, ada hujan yang menetes mengenai tubuhku hingga aku tak perlu khawatir akan sakit setelahnya. Namun, aku lupa, ada yang terus merengek dan menunggu. Setelah mengetuk pintu dan tak lama ada yang membuka, sesosok bayangan wanita dengan perut buncit sudah berdiri dengan senyum manis di wajahnya. Di luar dugaan, dia tak marah karena aku memblokir nomornya tadi. “Mas udah pulang?” tanyanya basa –basi, padahal sudah jelas pertanyaan itu tak butuh jawaban. Seperti hari lain saat aku pulang, Sarah mencium punggung tangan. Sementara aku masih di ambang pintu. Bedanya wanita itu sudah terlihat rapi. Aku bahkan bisa mencium aroma lotion yang ia kenakan setelah mandi. “Assalamu alaikum,” ucapku. Mengabaikan pertanyaannya. “Waalaikumsalam.” Sarah nyengir. Wangi tubuhnya menyeruak merasuk dalam penciuman, kala langkahku terayun masuk dan melewatinya begitu saja. Namun, dengan cepat tangan lentik Sarah meraih lenganku hingga langkah itu tertahan. “Mas, makasih, ya udah nurutin kemauanku pulang cepat.” Seulas senyum menghiasi wajah cantik itu. Yang kemudian membuatku sadar, bahwa sebelumnya, Sarah memintaku untuk menemaninya membeli martabak. Aku pun menghela napas berat karenanya. Ingat saja sudah jadi beban, apa lagi harus benar –benar pergi sekarang, di saat seluruh badanku terasa remuk. “O ya, aku udah siapin makan, Mas. Tapi baiknya Mas mandi dulu biar gak bau!” serunya senang. Lagi, Sarah masuk mendahuluiku ke arah dapur. “Sarah, ayolah! Mas capek! Kenapa tadi tidak pesan saja, jadi sekalian Mas belikan pas pulang?” protesku. Aku tak bisa memelankan suara karena merasa benar –benar lelah. Langkah Sarah terhenti di bibir pintu dapur. Kesal, pasti. Karena semua tak berjalan sesuai kemauannya. Ia lalu membalik tubuh menatap ke arahku. “Ya beda lah, Mas. Kalau aku sendiri yang pesan, sama Mas jelas beda rasanya. Mas pasti pesannya sembarangan. Sedang aku maunya, menteganya agak dibanyakin terus jangan sampe cokelat terus ....” “Sudah, sudah. Kalau mau nanti malam Mas antar. Sekarang aku mau berebah dulu. Capek banget tahu gak? Walau gak lembur, kerjaan hari ini sangat banyak. Mana medannya terjal karena alamat customer di pelosok.” Aku mencoba bernegosiasi dengan Sarah. “Nggak, Mas! Aku maunya sekarang!” paksanya. Ya Gusti, Sarah benar –benar tidak mau melihat situasi. “Kamu kenapa, sih? Apa bedanya nanti dan sekarang? suami kamu sudah kerja seharian lho, apa kamu nggak mau ngerti?” Harga diriku mulai terlukai dan tak mau kalah dengannya. Aku ini suami, tentu saja harus berada di atasnya istri. “Bukan nggak mau ngerti, Mas. Mas yang harusnya ngerti. Kalau nanti malam, martabak Mas Harto pasti tutup. Yang lain nggak seenak di sana dan asal –asalan bikinnya! Ya sudah, kalau Mas nggak mau antar. Biar aku pergi sendiri sekarang!” Suara Sarah kini ikut meninggi. Dasar keras kepala. “Huft!” Kuembus napas berat. Ego dan logikaku menyetujui itu. Sepertinya ini keputusan terbaik. Sarah tak sabar dan ingin pergi sekarang juga. Jadi setidaknya aku bisa beristirahat. “Ya, sudah pergilah. Toh, cuma di depan gang kan?” sahutku. Kini suara ini memelan juga. Dia hanya perlu menyeberang jalan besar sekali. Sepertinya tidak terlalu sulit juga. “Kalau susah bawa motor nyeberang, parkir di toko Mang Joko saja. Terus nyeberangnya jalan kaki hati –hat ....” Aku belum selesai bicara. Namun, Sarah berbalik dan berjalan ke arah kamar mengambil tasnya. Ia lalu meminta kunci motor padaku. “Aku pergi, Mas. Kalau ada apa –apa jangan nyesel, ya!” dengkusnya berjalan ke luar. “Astaga! Apa kamu perlu bicara seperti itu, Sarah. Kamu sendiri yang nggak sabar nunggu suamimu istirahat dulu dan sekarang malah ngomong yang nggak –nggak,” omelku. Namun, wanita itu bertingkah seolah mengabaikan ucapan suaminya. Dan pergi begitu saja setelah menyalakan satu –satunya motor di rumah kami yang terparkir manis di teras. Aku cuma bisa geleng –geleng karenanya. Tak ingin istirahatku terganggu, kututup pintu, lalu meletakkan ransel yang berisi kotak bekal kosong. Setiap hari Sarah dengan telaten menyiapkan bekal makan siangku. “Hem, biar dia sajalah yang beresin nanti,” ucapku sambil menghela napas panjang, sembari merebahkan tubuh perlahan ke sofa. “Huh, nikmat mana lagi yang kau dustakan,” gumamku, kala punggung remuk menyentuh empuknya sofa. Next yuk Kak .... Jangan lupa tinggalkan jejak, ya. Seperti biasa. Setelah novel on going tamat, Akan ada pengumuman pemenang novel cetak untuk reader teraktif. ?? Mampir juga di cerita Wafa yang lain : AIR MATA PUTRIKU "Ada noda di seragam putriku, suamikukah pelakunya?" ____________ "Kenapa harus pakai seragam, La?" tanyaku heran. Ini kan bukan kegiatan sekolah, tapi Laila memakai seragamnya. "Em. Itu ...." Dua alisnya yang rapi terangkat. "Kayaknya supaya ada kesan acara pelajar deh, Bun. Entahlah. Laila juga nggak tau." Gadis itu tersenyum meringis. Itu pun sudah bagus karena akhir-akhir ini Laila jarang tersenyum. Belum lama. Tapi itu cukup mengganggu. "Laila berangkat dulu, Bund. Assalamualaikum." Puteriku berpamitan. Tak biasanya dia bela-belain keluar malam begini. Katanya karena tak enak sama temen sebangkunya yang ulang tahun. "Hem. Ya. Waalaikumsalam. Pulang jangan malam-malam, ya." Gadis itu mengangguk. Laila anak yang baik. Penurut dan tak neko-neko. Termasuk dalam bergaul. Selama SMP dihabiskan waktunya di pesantren, karena aku menikah kembali setelah bertahun-tahun menjanda, dan tak mau membawanya tinggal dengan ayah tirinya. Namun, karena dia bilang tak betah dan ingin melanjutkan ke sekolah negeri, kami pun memutuskan mengeluarkannya dari pondok. Entahlah, belakangan dia terlihat kurang ceria seperti saat beberapa kali pulang dari pondok dulu. Padahal seharusnya, setelah keinginannya berhenti mondok dituruti, dia senang, bukan? Pikirku dia masih perlu penyesuaian. Langkah Laila berhenti, kala sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Aku yang akan menutup pintu mengikuti gadis itu. Namun, ada sesuatu yang membuatku mengerutkan kening. Mas Heru? Benarkah dia menghubungi Laila? Apa ada sesuatu yang tertinggal? "Ayah itu, La?" tanyaku dengan tenang. Mungkin tadi dia menghubungi, dan aku tak kunjung mengangkatnya, itu kenapa Mas Heru kini menghubungi Laila. "Ah? Bukan, Bund." Laila tampak ragu. Ekspresinya membuat mata ini memicing curiga. Apa Ayah yang dimaksud adalah nama kontak untuk pacarnya? Ah, tidak. Kalau iya Mas Heru, kenapa dia harus menyembunyikannya? Duh, kenapa aku jadi bertanya-tanya gak jelas gini. Aku terlalu curigaan gara-gara sikap Laila yang agak pendiam. "Udah, Bund." Laila hilang di balik pintu yang ditutupnya. "Ya." Aku mengangguk. Pasrah melepas gadisku itu pergi. _______ Hari sudah malam. Tak biasanya Laila belum pulang jam segini. Apa motornya macet di jalan? "Bund. Sedang apa?" tanya suamiku yang keluar dari kamar. Dia baru saja pulang dan berganti pakaian. "Makanan sudah ada?" "Ya, Yah. Sudah aku siapin. Ini loh, Laila kok belum pulang, ya?" jawabku sembari berjalan ke arah dapur. Berniat menyiapkan makan dan menemani Mas Heru. Kasihan, dia baru pulang kerja. Pasti lelah dan lapar. Aku tak boleh egois hanya memikirkan puteriku sendiri. "Ehm, paling juga main sama temennya, Bund. Biasalah." Mas Harus yang mengekorku menyahut. "Iya, tapi kenapa harus matiin ponsel?" gerutuku kemudian. "Bikin orang tua khawatir saja." "Ya, yah. Sabar. Bentar lagi juga pulang. Dia lho udah gede, gak fair rasanya kalo Bunda over protektif gitu." Priaku itu memang paling bisa membuatku tenang. Yah, lebih tepatnya memaksaku untuk tenang. Kalau dipikir, selama ini sifat Mas Heru kelewat baik pada Laila. Bahkan lebih bijak dibanding aku yang ibu kandungnya. Di tengah aktifitas Mas Heru makan, tiba-tiba saja terdengar deru mobil. Tak lama suara itu berhenti persis di depan rumah kami. Tanpa pikir panjang, aku pun bangkit untuk melihatnya. "Sebentar, Mas." Aku bangkit dari duduk. "Hem. Ya." Mas Heru tetap makan, menatap sebentar saat istrinya ini bergegas pergi meninggalkannya. Sampai di depan, kubuka pintu. Melihat ke arah mobil berwarna merah. Siapa yang bertamu malam-malam begini? Aku pun menajamkan mata. Dan alangkah terkejutnya aku melihat Laila yang tampak lemas dibopong teman perempuannya, Lintang. Aku tahu karena beberapa kali gadis itu main ke rumah. Tak lama keluar seorang teman laki-lakinya, seketika pikiranku tak karuan. Berpikir dia adalah pacar anakku. Jujur saja. Aku sangat takut dengan pergaulan anak jaman sekarang, itu sebabnya tak rela Laila pacaran dan jadi korban laki-laki. "Kamu siapa?" tanyaku, dengan nada sedikit ketus. "Em, saya Aris, Bu. Teman Laila. Kakaknya Lintang." "Oh." Dari sini aku pun mulai merasa tenang. Berarti dia ke sini karena Lintang, bukan karena pacaran dengan Laila. Lagian puteriku itu tak mungkin pacaran. Lihat saja, Aris bahkan tak berani menyentuh Laila hingga Lintang kesulitan sendiri menolong Laila. "Bu, maaf, ini Laila!" Lintang tampak kesusahan karena membopong sendiri. "Oh ya." Aku sampai lupa tadi khawatir melihat keadaan Laila. "Dia kenapa?" Nada suaraku kembali khawatir. Semoga Laila hanya kelelahan dan jatuh sakit di rumah temannya. Dia memang memiliki typus. Dan kalau sudah kambuh seperti tak sadarkan diri karena saking sakitnya, katanya. "Eum, saya kurang tahu, Bu." Lintang menyahut. Dia menyerahkan separuh tubuh Laila hingga kini aku dan dia berada di dua sisi gadisku. "Ya Allah Laila, kamu buat Bunda khawatir saja." Tapi tubuhnya tidak panas seperti biasa. Apa iya typus? Atau baru gejala? Kami pun segera membawa Laila ke kamarnya. Lalu merebahkan di ranjang. Saat akan menutupkan selimut ke tubuh anakku, tak sengaja mataku menangkap sesuatu yang mencurigakan di rok berwarna abu-abu yang dikenakan. Sebuah noda mirip seperti darah yang belum lama mengering. Apa itu darah haid? Tak mungkin Laila baru seminggu lalu bersih dari haidnya. Pikiran ini jadi tak karuan karena melihat noda itu. Apa itu darah perawan karena anakku diperkosa? Ya Tuhan. Tapi siapa pelakunya? Tak terima aku pun segera ke luar kamar dan membiarkan Laila beristirahat, kemudian menginterogasi kakak beradik itu sebelum pergi. "Tunggu!" hardikku pada dua bersaudara yang akan pergi itu. Enak saja, apa mereka mau kabur? Dua remaja itu, berhenti. Aku tersengal karena emosi bisa jadi mereka menipuku. Demi melindungi diri sendiri. Harusnya aku tak percaya, mana mungkin Aris kakaknya Lintang sedang mereka terlihat sebaya. Pasti dua teman itu yang telah mengerjai puteri kesayanganku, Laila. Atau ... aku menatap ke arah suamiku yang berjalan ke arah kami. Mengingat nomornyalah dihubungi Laila terakhir kali. Next?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
95.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.3K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook