bc

Warmheart

book_age16+
1
FOLLOW
1K
READ
mate
badboy
goodgirl
dare to love and hate
drama
city
highschool
enimies to lovers
secrets
school
like
intro-logo
Blurb

SMA Alundra, sekolah ternama yang selalu diincar banyak remaja. Bukan hanya karena gedungnya yang indah, seluruh warganya pun sangat indah dipandang. Nama harum itu akhir-akhir ini sedikit goyah karena ulah murid yang baru satu tahun di dalamnya. Namanya selalu terdengar dengan sebutan gang Bastard. Terdiri dari Alcasta, Arthur, Bryan dan Edghar. Keempat murid ini bukan hanya membuat kericuhan di kelasnya, di sekolahnya, melainkan di daerahnya. Hampir seluruh sekolah ia jajah demi namanya yang ingin terkenal. Muncullah keempat murid lain yang baru masuk ke dalam gedung impian ini yaitu Alpha, Venus, Gavin dan Raksa. Agar lebih mudah dikenalnya mereka membuat grup bernama Ragistic. Mereka ingin mengharumkan kembali nama sekolahan yang hampir tercemar karena ulah Bastard. Namun, Bastard tidak terima karena merasa diikut campuri oleh Ragistic yang hanya adik kelas mereka. Bastard selalu mendapat masalah akibat Ragistic yang selalu menghancurkan rencana-rencana yang mereka buat sehingga Alcasta, salah satu dari Bastard mencari informasi tentang Ragistic. Mereka mendapat informasi bahwa Alpha, ketua gang Ragistic memiliki pacar yang bernama Prisca. Sangat terlihat bahkan seantero SMA Alundra tahu bahwa Alpha sangat mencintai dan menjaga Prisca. Karena Alpha hanya memiliki Prisca satu-satu di hidupnya. Ia akan melakukan apapun untuk melindungi dan membahagiakan perempuannya itu. Prisca dan Alpha mempunyai hubungan sangat erat bahkan tidak ada yang bisa memisahkan karena orang tua mereka meninggalkan mereka waktu mereka kecil. Mereka diurus oleh tante dan omnya. Namun, kehidupan tante dan omnya berubah saat mereka dikaruniai anak sehingga mereka tidak bisa membiayai Prisca dan Alpha. Prisca bekerja untuk melanjutkan sekolah dan hidupnya. Namun, akibat ulah Alpha, Prisca selalu telat bekerja dan akhirnya Prisca dipecat. Ia juga diputuskan oleh sekolahnya karena tidak bisa membayar biaya sekolah. Bastard mempunyai rencana untuk menghancurkan hubungan Alpha dan Prisca dengan cara mengorbankan salah satu anggotanya yaitu Alcasta. Mereka meminta Alcasta untuk merebut Prisca dari Alpha agar Alpha menderita. Namun, gadis dingin itu tidak mudah untuk didekati. Beberapa kali Alcasta malah dilanda musibah dan masuk ke lubang yang salah akibat ulah Prisca. Proses mendekati Prisca dengan susah payah bahkan mengorbankan harta, jiwa, raga, waktu bahkan bertarung dengan Alpha itu tetap sia-sia. Sampai akhirnya Alcasta berhasil membuat Prisca menjadi pacarnya walaupun hanya sebagai syarat agar Prisca bisa masuk sekolah lagi. Prisca luluh akan kebaikan yang terus Alcasta berikan kepadanya hingga Prisca jatuh cinta kepada laki-laki pertama kalinya. Prisca selalu marah setiap kali Alpha melukai Alcasta. Bahkan Prisca sempat memutuskan hubungan dengan Alpha karena merasa Alpha sudah keterlaluan. Kebenaran tiba-tiba terbongkar bahwa Prisca adalah kakak kandung dari Alpha. Semua semakin sia-sia bahkan Alcasta hampir prustasi. Ia marah kepada keadaan karena tidak menelusuri dengan detail. Alcasta bingung harus berbuat apa sedangkan Prisca sudah jatuh cinta kepadanya. Tiba-tiba murid baru memasuki SMA Alundra. Ia pindahan dari sekolah musuh Bastard. Ia adalah suruhan musuh Bastard untuk mencari tahu tentang Bastard agar mudah untuk dikalahkan. Tapi, sayangnya Bastard tidak tahu dan salah satu dari mereka jatuh cinta kepada gadis cantik dan anggun itu, yaitu Alcasta. Alcasta mencoba mendekati murid baru yang bernama Grace. Ia tiba-tiba mendapat rencana baru bahwa ia tidak akan memutuskan Prisca. Ia tetap melanjutkan misinya dengan rencana yang berbeda. Alcasta akan menyakiti Prisca dengan posisi Prisca yang masih jatuh cinta kepadanya. Arthur, salah satu anggota Bastard merasa iba. Ia berkhianat dan menolong Prisca keluar dari jebakan Alcasta. Arthur jatuh cinta kepada Prisca dan berhasil membuat Prisca menjauh dari Alcasta. Namun, sikap Grace sangat bertolak belakang dengan Prisca. Alcasta mulai kehilangan sosok Prisca. Ia mulai mencari tahu lagi tentang Prisca dan sangat marah kepada Arthur karena mengkhianatinya. Amarahnya itu semakin membara saat kebenaran kembali terbongkar bahwa Grace adalah penyusup di sekolahnya. Beberapa kali sekolahnya di teror ternyata itu ulah Grace. Alcasta sangat marah kepada Grace dan langsung menjauhinya. Alcasta akan merebut kembali Prisca dari Arthur tapi Arthur tidak terima. Alpha memanfaatkan kejadian itu. Ia membuat Alcasta berada dibawah kendalinya. Alpha balas dendam atas apa yang Alcasta lakukan selama ini kepadanya dan kepada kakaknya. Prisca tidak bisa membohongi perasaannya. Ia kembali kepada Alcasta dan memberikan kesempatan kedua. Alpha kembali kecewa kepada Prisca. Namun, Alpha menyadari bahwa Alcasta benar-benar tulus kepada kakaknya dan ia mencoba menerima Alcasta dengan baik.

chap-preview
Free preview
SMA ALUNDRA
SMA Alundra, Matahari mulai terbit di ufuk timur sana. Pantulan cahaya mulai bertabrakan. Bayangan terlihat samar akibat sang mentari tertutup oleh awan suci. Langit tersenyum berwarna biru menyerupai air laut yang bergelombang. Derap kaki melangkah ke sana - ke mari berlarian sesuai dengan suasana hati. Siswa dan siswi yang memakai seragam serupa berlalu-lalang di sekitaran lapangan dan koridor. Bunyi nyaring yang berpadu terdengar sangat ricuh dan meresahkan. Sebuah kelas yang sangat terkenal selalu menjadi juara pertama dalam kebisingan. "Alcasta!" teriak menggema menggemparkan seantero Alundra. Itu adalah sebuah kebiasaan setiap siswi yang menjadi korban kejahilan salah satu siswa kelas XI IPA 2, Diago Alcasta. - WARMHEART - Tet ... tet ... tet ... Bel SMA Alundra menggema di setiap penjuru sekolah. Semua murid berlarian memasuki kelasnya masing-masing. Tetapi, ada juga yang berjalan santai. Bahkan, ada yang tetap diam di tempat menunggu sang ketua kelas menjemputnya. Suasana semakin ricuh saat semua murid berada di dalam satu ruangan. Berteriak, berlarian dan bernyanyi. Seorang siswa berseragam urakan merogoh saku celananya untuk mengambil sebuah batang tembakau. Ia mengepulkan asap ke sembarang arah di ruangan tertutup ini. "Alcasta! Lo kalau mau nge-rokok di rooftop aja deh!" protes siswi lain yang merasa terganggu dengan asap bau itu. "Tinggal matiin AC-nya, buka pintunya, selesai. Ngotak dikit, lah!" kata siswa yang bernama Diago Alcasta. "Tuhan menciptakan organ tubuh untuk digunakan. Bukan dijadikan pajangan. Kalau gak terpakai mungkin otak lo bisa disumbangkan," sahut siswi yang lain tanpa melihat keberadaan Alcasta. Dia Prisca Birgitta. "Nyindir gue, lo?" tanya Alcasta tidak terima. "Nggak berniat menyindir. Kalau lo merasa, artinya gue tepat sasaran." Alcasta menggertakan rahangnya. Ia melempar bungkus rokok ke sembarang arah sehingga mengenai siswi lainnya. Suara pintu berdenyit pertanda dibuka oleh seseorang. Hal itu tidak membuat keributan ini diam sejenak barang sedetikpun. Mereka menghiraukan dan tetap dalam kesibukannya. "Selamat pagi!" sapa sang guru setelah memasuki kelas unggulan ini, XI IPA 2. Mereka menoleh dan langsung menempati tempat duduk masing-masing, "pagi, bu!" jawab mereka dengan serempak. "Selamat datang kembali di sekolah tercinta kita, SMA Alundra. Semoga liburan selama 1 bulan kemarin membuat kalian refresh, ya!" ucap sang guru. "Kurang, bu!" "Kurang lama!" "Harusnya 2 bulan, bu!" "1 tahun!" Sahut mereka berkicau membuat telinga terasa berdengung. "Perkenalkan, ibu wali kelas kalian. Panggil saja bu Griya," ujar sang guru yang bernama bu Griya. Tidak ada tampang galak atau pun jutek. Sepertinya kepala sekolah salah memilih wali kelas untuk kelas unggulan ini. "Hai, bu Griya!" "Ibu masi muda, ya?" "Sudah nikah belum, bu?" "Panggil tante Griya boleh, gak?" "Nomor whatsappnya berapa, teh?" Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Alcasta dan para sahabatnya, Edgar, Bryan dan Arthur. Murid lainnya hanya tertawa, sedangkan bu Griya selaku guru merasa sangat tidak dihargai. Namun, ia menghadapi itu dengan senyuman. "Baik, kita langsung saja membuat struktur organisasi. Kalian langsung saja menulis nama yang akan kalian pilih di kertas beserta jabatannya. Sekarang!" lalu bu Griya menduduki kursi guru yang terletak di dekat pintu. 10 menit kemudian ... Gulungan kertas sudah berada di meja guru. Bu Griya memerintah dua murid untuk maju ke depan, "kamu baca nama yang ada di kertas dan kamu tulis di papan tulis, ya!" "Alca pasti menang!" ucapnya dengan kepercayaan diri yang tinggi. Satu menit kemudian raut wajahnya muram. Ternyata yang memilih dirinya menjabat ketua kelas hanya 1 orang saja. Dan itu pun dirinya sendiri yang memilih. Plak! Alcasta memukul ketiga temannya secara bersamaan, "lo gak milih gue?" "Sorry, Al. Kali ini gue berkhianat. Gue harus memajukan diri gue," ucap Edgar penuh dramatis. "Setuju. Gue harus membuat mamih papih gue bangga. Gue gak sabar mengumumkan di masjid perumahan gue bahwa seorang Bryan menjabat ketua kelas," ucap Bryan tak kalah dramatis. Arthur hanya tertawa menonton komedi gratis yang selalu ia saksikan setiap detiknya, "kertas gue kosong. Bingung pilih siapa, gak ada yang waras di sini." Alcasta hanya mendelik sembari mendesis. Pikirnya, tega sekali sahabatnya berkhianat. Ia kembali fokus pada papan tulis yang hampir penuh dengan tulisan, "Prisca?" tatapan matanya langsung tertuju kepada sang gadis yang duduk paling depan letaknya di pojokkan. "Manekin?" serunya membuat ketiga sahabatnya penasaran dan ikutan mengamati papan tulis. "Baik. Atas pilihan kalian ibu putuskan yang akan menjadi ketua kelas adalah Prisca. Yang menjadi sekretaris adalah Marva. Yang menjadi bendahara adalah Aletha dan sesi keamanan adalah Mauren. Keputusan ini sudah sah, ya!" "Kayak gitu dijadiin ketua kelas. Diam mulu kayak patung, bu! bisa-bisa satu kelas ketularan jadi patung!" protes Alcasta tidak terima sembari sesekali melirik Prisca. "Ya bagus. Dari pada ketua kelasnya kamu. Satu kelas bisa nakal semua," ucap bu Griya mengundang gelak tawa seisi kelas. "Untuk Prisca, ibu pasrahkan tanggung jawab kelas ini sama kamu. Semoga kamu amanah menjadi ketua kelas," ucap bu Griya. "Sekarang, buka buku fisika halaman 10. ------ SELESAI mata pelajaran bel kembali dibunyikan pertanda memasuki jam istirahat. Para murid mengemas alat tulisnya lalu berjalan menuju tempat yang sangat mereka rindukan, kantin. "Alca!" teriak nyaring seorang gadis mungil yang kerap disapa Zara. "Oper ke gue, Al!" teriak Edghar sembari mengangkat kedua tangannya siap menerima lemparan tas berwarna cokelat. "Edghar, sini!" Zara berlari ke sana - ke mari mengikuti arah tasnya yang dilempar oleh Bastard the gang. Embun hangat mengaburkan pandangan Zara. Sesekali ia menghapus cairan luka itu menggunakan punggung tangannya. Ia selalu menjadi korban bully Bastard. Ia tidak mempunyai teman untuk membelanya. Terkadang mentalnya benar-benar terancam. Tetapi, ia selalu ingat bahwa ia adalah satu-satunya harapan keluarga. Itulah motivasi semangat hidupnya. Alcasta menangkap tas Zara dari tangan Bryan, "kasian cewek gue," ucapnya lalu merangkul Zara berjalan dan menyimpan tas milik Zara. Zara hanya kebingungan karena sikap Alcasta yang tiba-tiba berubah bahkan tidak pernah dilakukan sebelumnya. Edghar dan Bryan saling bertatap heran. Sedangkan sang pelaku hanya memberikan senyuman tanpa beban. "Maaf, ya, Zara. Gue suka isengin lo. Tadi terakhir, kok. Gue mau nebus kesalahan gue selama 2 tahun ini dengan cara ajak lo makan di kantin. Gimana?" ujarnya seraya menatap Zara begitu dekat yang ada di sampingnya. "Al, l-lo gapapa?" tanya Bryan ragu. Alcasta antusias menoleh, "oh. I'm okay. I'm fine and i'm very very no problem." Lalu Alcasta kembali melontarkan senyuman yang paling manisnya kepada Zara. Bagaimana pun Zara adalah manusia normal dengan iris mata yang berguna dan jantung yang sehat. Berada sedekat ini dengan cowok yang dinobatkan terganteng sejagat raya membuat dirinya tidak karuan. "Gue peka, kok. Diam tandanya setuju, kan?" lalu Alcasta menoleh ke arah Bryan dan Edghar, "ayok, makan! Gue traktir." Seketika perasaan bingung dan heran menghilang begitu saja saat mendengar kesempatan emas berada di depan mata. Alcasta berjalan ke arah keluar kelas dengan tangan yang setia merangkul pundak Zara. Diikuti oleh kedua temannya, karena Arthur sudah terlebih dulu pergi ke kantin sejak bel dibunyikan. "Itu Arthur!" seru Bryan saat menginjakkan kaki di lantai kantin. Terdengar begitu bahagia dan terlihat begitu girang seperti anak kecil yang dibelikan mainan baru. "Alca, aku malu," ujar Zara merasa risi karena beberapa pasang mata terus menatap ke arahnya. Ia akan menjadi bahan perbincangan bahkan lebih parahnya ia akan semakin banyak yang mem-bully. "Gak perlu malu. Lo cantik. Mereka yang liatin itu iri sama lo, Ra." Lalu Alcasta menarik kursi untuk Zara duduk, "duduk, Ra." Uhuk! Arthur tersedak makanan yang penuh di dalam mulutnya. "Wah, tinggal dikit lagi," celetuk Edghar. "Kurang ajar, lo!" bentak Arthur tidak terima. "Banyak-banyak istigfar, thur. Udah ada yang jemput kayanya," timpa Bryan lalu mencomot bakso yang ada di mangkuk Arthur dengan tangan kosongnya. "Jorok, gila!" murka Arthur dan seketika kehilangan nafsu makannya. Alcasta membelai rambut Zara yang sebatas bahu, "mau pesan apa, hm?" tanyanya begitu lembut. "Tukang ruqyah dekat sini ada gak, sih?" Edghar merasa cemas atas kesehatan Alcasta saat ini. "Alca dari mana? Kesambet di gudang?" tanya Arthur yang ikut cemas. "Pelet kayaknya pelet!" teriak Bryan yang dengan cepat memutuskan jawaban. "Melet Alca lo, ya!" Bryan menunjuk Zara yang juga kebingungan. "Sut... Lebih baik diam dan nikmati makanan. Kalian pesan sepuasnya tanpa bayar sepeser pun." Alca kembali menatap Zara lalu tersenyum hangat. Bryan segera menarik meja lain untuk digabungkan dengan mejanya. Hampir semua menu makanan dan minuman di kantin ini mereka pesan. "Lo seriusan, Al?" tanya Arthur. "Prank, kali," jawab Edghar menduga-duga. Sedangkan Bryan sudah menghabisi tiga piring menu makanan. "Al, makasih kamu udah baik sama aku." Zara tersenyum senang. Akhirnya penderitaannya selama 2 tahun berakhir saat ini. Karena, baginya teman adalah hal yang berharga. Namun, terkadang kita salah mengartikan. Kita yang menganggap teman dan kenyataannya teman malah memanfaatkan. "Gue juga makasih." Nadanya terdengar sangat dingin. Manusia spesies seperti apa ini? Mudah sekali berubah mengikuti arah angin. "Makasih untuk apa, Al?" tanya Zara heran. "Makasih karena lo bikin kita bisa makan enak sepuasnya," ucap Alcasta dengan senyum smirk. Deg! "Mungkin prank kali, ya? Karena terbesit gitu aja di otak gue saat lempar tas jelek lo!" lanjut Alcasta. Arthur menghentikan aksi mengunyahnya lalu menatap Alcasta dan Zara secara bergantian begitu juga dengan Bryan sedangkan Edghar masih terus mengunyah menikmati keadaan tanpa ingin diganggu. Air mata Zara kembali menggenang di pelupuk matanya. Baru saja ia bersyukur karena penderitaannya berakhir. Ternyata takdir tidak sebercanda itu. Ia akan terus berjalan seperti air di sungai. Melewati kerikil dan menabrak bebatuan besar serta jatuh ke dasar yang lebih rendah. Namun, akan ada saat di mana air mengalir dengan tenang dan menjadi kekaguman atas indahnya alam. "Lo pikir gue sebagai siswa famous yang dinobatkan paling tampan ini sudi megang gadis hina kayak lo? Korban bully!" Alcasta menekankan dua kalimat terakhirnya sembari menatap tajam Zara. "Jangan ketinggian halu lo!" Edghar menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia bingung apa yang harus ia lakukan. Tetap makan atau berhenti. "Jangan tinggi-tinggi, Ra. Nanti jatuh siapa yang mau tangkap? Gak ada," timpa Bryan. "Ada-ada aja lo, Al." Arthur hanya tertawa dan memilih menghabiskan makanan miliknya. Sedangkan Edghar hanya mengikuti apa yang sahabatnya lakukan. Ia segera makan yang lahap karena takut jika Alcasta menyuruhnya untuk berhenti. Alcasta menoleh ke samping saat merasa ada seseorang yang berdiri di dekatnya. Kepalanya mendongak membuat manik mata cokelat hazelnya membulat dengan jelas. Ia mengangkat sebelah alisnya yang tebal seolah menantang. "Ternyata populasi banci bertambah satu," celetuk seorang siswi dengan wajah datar dan nada bicara yang dingin. Dia adalah Prisca Birgitta. Siswi yang terkenal sebagai patung yang diberi nyawa. Wajah tanpa ekspresi dan jarang sekali berbicara. Ia merogoh sakunya, "anggap aja gue bantu orang tidak mampu yang bisanya cuma menindas orang yang lemah!" Prisca menyimpan satu lembar uang berwarna merah di meja hadapan Alcasta. Alcasta hanya mengangkat kedua bahunya lalu mengalihkan pandangan dari wajah Prisca lalu Prisca melenggang pergi dari hadapan mereka. "Bayarin jangan, Al?" tanya Edghar. "Bayarin lah," jawab Alcasta dengan nada kesal menahan amarah. Pasalnya baru kali ini seorang Prisca mengajaknya berbicara, itu pun secara menghina. "Ngapain lo masi di sini? Gak guna!" bentak Alcasta seraya menendang kursi Zara menjauh darinya bahkan hampir saja terjungkal. Zara beranjak lalu berlari sembari menutup wajahnya. "Miskin!" seorang siswa berseragam rapi berjalan melewati kumpulan Bastard gang. "Prisca memang panutan. Sedekah kepada yang lebih MEMBUTUHKAN." Siswi ber-name tag Alpha Centauri itu menekankan kata terakhirnya. Alcasta berdiri dari duduknya. "Mau gue sumbang lagi, nggak? uang gue kebanyakan soalnya." Nada bicara Alpha terdengar sangat meledek membuat Alcasta langsung memberikan hantaman di pipi tirus Alpha. Teriakan bergema di segala penjuru kantin. Pukulan demi pukulan terdengar sangat jelas saat tulang mereka beradu. Darah yang mengalir pun tidak membuat mereka menghentikan aksi setannya. "Arthur, Bryan, Edghar! kalian lerai mereka!" teriak salah satu dari mereka. "Mereka bukan anak ayam. Nggak perlu dilerai," jawab Edghar. "Memang anak ayam pernah berantem?" tanya Bryan dengan polos. Arthur berjalan mendekati Alcasta yang kalap memukuli Alpha, "lanjut nanti. Jangan di sekolah," bisik Arthur. Alcasta menjauhkan diri dari Alpha yang terbaring. "Miskin!" Alcasta kembali terpancing dan langsung menghabisi Alpha tanpa ampun. Dirinya sangat tersulut emosi yang menggebu. "Alpha!" siswi berambut sebatas bahu berlari menghampiri Alcasta dan Alpha. Ia langsung mendorong Alcasta yang berada di atas Alpha. "Alpha! ya ampun. Kak Alcasta lo apa-apaan, sih!" siswi bernama Keyla Laura itu langsung membangunkan Alpha. "Lo bisa jalan? Kita ke UKS." Keyla mengaitkan tangan Alpha di lehernya dan membantu Alpha untuk berjalan menuju UKS. Setelah sampai di UKS, Keyla langsung membaringkan tubuh Alpha di atas brankar. Kemudian, ia sibuk mengambil beberapa alat medis untuk mengobati luka Alpha. Pintu UKS terbuka lebar dan menampakkan empat sosok cewek yang salah satunya berambut panjang dengan kulit putih pucat. Raut wajahnya tampak menahan kesal. Langkah kakinya mulai mendekati arah Alpha dan Keyla. "Siapa yang ngajarin?" lontaran kata itu keluar begitu saja dari mulut Prisca membuat Alpha terkejut. "A-apa, kak?" tanya Alpha terbata-bata. Prisca hanya diam menatap Alpha dalam-dalam penuh arti. "Gue ngebela lo, salah?" tanya Alpha. "Gue nggak pernah ajarin lo kayak gitu!" nada Prisca terdengar tinggi. Terlihat matanya memerah menahan amarah. Alpha sedikit mengangkat kepalanya, "lo cuma punya gue. Cuma gue yang bisa lindungi lo!" jawab Alpha dengan nada yang lumayan tinggi. Ia bukan marah. Ia hanya tegas agar Prisca mengerti. "Apa gue harus diam aja saat lo diperlakukan nggak baik?" lanjut Alpha dengan nada sedikit menurun. "Memangnya gue kenapa? gue nggak di apa-apain. Gue cuma tolong teman gue!" terang Prisca masih dengan nada yang sama. "Anggap aja gue juga tolong teman lo." "Jangan so' jagoan!" sungut Prisca. "Maaf. Tapi, Alpha nggak salah. Dia benar," bela Keyla. "Salah. Gue nggak pernah ajarin dia kayak gitu," jawab Prisca tanpa menatap Keyla. "Dia cuma bela kaum yang lemah, Pris," timpal Aletha. "Dengan cara menghina orang?" pungkas Prisca menatap Aletha. "Sudah! Alpha benar, kok. Cuma cara dia aja yang salah," simpul Marva menengahi agar suasana tidak semakin panas. "Lanjut obatin Alpha," titah Marva kepada Keyla. Saat Keyla hendak mengobati luka Alpha. Alpha menyingkirkan tangan Keyla dengan lembut lalu ia meraih ke-dua tangan Prisca, "maafin gue, kak. Gue cuma nggak mau orang yang paling berharga dihidup gue disakitin orang lain." Cairan bening yang ditahan itu tumpah membasahi pipi Alpha yang penuh luka, "gue nggak mau lo kenapa-napa." Seketika amarahnya hilang ntah menyurut ke mana. Hati Prisca mencair begitu saja. Perlahan nafas yang memburu mulai tenang kembali. Ia mengelus punggung tangan Alpha dengan ibu jarinya, "gue nggak kenapa-napa." Prisca memberikan senyuman yang paling langka, sangat hangat dan manis. "Gue nggak suka liat kelakuannya. Terserah mau kayak gimana. Yang penting jangan ngerugiin orang lain," jelas Alpha mengadu. "Jangan memandang orang terlalu rendah. Karena siapa tahu yang kita anggap buruk punya sisi baik yang lebih dari kita." Alpha mencium punggung tangan Prisca penuh kelembutan. Keyla menelan salivanya dengan susah payah. Jantungnya seketika melemah melihat pemandangan paling buruk yang ia saksikan. Kelopak matanya menghangat siap memberikan embun luka, "kalau memang mereka pacaran. Kenapa sikap Alpha kayak beri harapan buat gue?" ---- To Be Continued ---

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Head Over Heels

read
15.9K
bc

DENTA

read
17.1K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook