SMA ALUNDRA
SMA Alundra,
Matahari mulai terbit di ufuk timur sana. Pantulan cahaya mulai bertabrakan. Bayangan terlihat samar akibat sang mentari tertutup oleh awan suci. Langit tersenyum berwarna biru menyerupai air laut yang bergelombang.
Derap kaki melangkah ke sana - ke mari berlarian sesuai dengan suasana hati. Siswa dan siswi yang memakai seragam serupa berlalu-lalang di sekitaran lapangan dan koridor.
Bunyi nyaring yang berpadu terdengar sangat ricuh dan meresahkan. Sebuah kelas yang sangat terkenal selalu menjadi juara pertama dalam kebisingan.
"Alcasta!" teriak menggema menggemparkan seantero Alundra. Itu adalah sebuah kebiasaan setiap siswi yang menjadi korban kejahilan salah satu siswa kelas XI IPA 2, Diago Alcasta.
- WARMHEART -
Tet ... tet ... tet ...
Bel SMA Alundra menggema di setiap penjuru sekolah. Semua murid berlarian memasuki kelasnya masing-masing. Tetapi, ada juga yang berjalan santai. Bahkan, ada yang tetap diam di tempat menunggu sang ketua kelas menjemputnya.
Suasana semakin ricuh saat semua murid berada di dalam satu ruangan. Berteriak, berlarian dan bernyanyi.
Seorang siswa berseragam urakan merogoh saku celananya untuk mengambil sebuah batang tembakau. Ia mengepulkan asap ke sembarang arah di ruangan tertutup ini.
"Alcasta! Lo kalau mau nge-rokok di rooftop aja deh!" protes siswi lain yang merasa terganggu dengan asap bau itu.
"Tinggal matiin AC-nya, buka pintunya, selesai. Ngotak dikit, lah!" kata siswa yang bernama Diago Alcasta.
"Tuhan menciptakan organ tubuh untuk digunakan. Bukan dijadikan pajangan. Kalau gak terpakai mungkin otak lo bisa disumbangkan," sahut siswi yang lain tanpa melihat keberadaan Alcasta. Dia Prisca Birgitta.
"Nyindir gue, lo?" tanya Alcasta tidak terima.
"Nggak berniat menyindir. Kalau lo merasa, artinya gue tepat sasaran."
Alcasta menggertakan rahangnya. Ia melempar bungkus rokok ke sembarang arah sehingga mengenai siswi lainnya.
Suara pintu berdenyit pertanda dibuka oleh seseorang. Hal itu tidak membuat keributan ini diam sejenak barang sedetikpun. Mereka menghiraukan dan tetap dalam kesibukannya.
"Selamat pagi!" sapa sang guru setelah memasuki kelas unggulan ini, XI IPA 2.
Mereka menoleh dan langsung menempati tempat duduk masing-masing, "pagi, bu!" jawab mereka dengan serempak.
"Selamat datang kembali di sekolah tercinta kita, SMA Alundra. Semoga liburan selama 1 bulan kemarin membuat kalian refresh, ya!" ucap sang guru.
"Kurang, bu!"
"Kurang lama!"
"Harusnya 2 bulan, bu!"
"1 tahun!"
Sahut mereka berkicau membuat telinga terasa berdengung.
"Perkenalkan, ibu wali kelas kalian. Panggil saja bu Griya," ujar sang guru yang bernama bu Griya. Tidak ada tampang galak atau pun jutek. Sepertinya kepala sekolah salah memilih wali kelas untuk kelas unggulan ini.
"Hai, bu Griya!"
"Ibu masi muda, ya?"
"Sudah nikah belum, bu?"
"Panggil tante Griya boleh, gak?"
"Nomor whatsappnya berapa, teh?"
Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Alcasta dan para sahabatnya, Edgar, Bryan dan Arthur. Murid lainnya hanya tertawa, sedangkan bu Griya selaku guru merasa sangat tidak dihargai. Namun, ia menghadapi itu dengan senyuman.
"Baik, kita langsung saja membuat struktur organisasi. Kalian langsung saja menulis nama yang akan kalian pilih di kertas beserta jabatannya. Sekarang!" lalu bu Griya menduduki kursi guru yang terletak di dekat pintu.
10 menit kemudian ...
Gulungan kertas sudah berada di meja guru. Bu Griya memerintah dua murid untuk maju ke depan, "kamu baca nama yang ada di kertas dan kamu tulis di papan tulis, ya!"
"Alca pasti menang!" ucapnya dengan kepercayaan diri yang tinggi.
Satu menit kemudian raut wajahnya muram. Ternyata yang memilih dirinya menjabat ketua kelas hanya 1 orang saja. Dan itu pun dirinya sendiri yang memilih.
Plak!
Alcasta memukul ketiga temannya secara bersamaan, "lo gak milih gue?"
"Sorry, Al. Kali ini gue berkhianat. Gue harus memajukan diri gue," ucap Edgar penuh dramatis.
"Setuju. Gue harus membuat mamih papih gue bangga. Gue gak sabar mengumumkan di masjid perumahan gue bahwa seorang Bryan menjabat ketua kelas," ucap Bryan tak kalah dramatis.
Arthur hanya tertawa menonton komedi gratis yang selalu ia saksikan setiap detiknya, "kertas gue kosong. Bingung pilih siapa, gak ada yang waras di sini."
Alcasta hanya mendelik sembari mendesis. Pikirnya, tega sekali sahabatnya berkhianat. Ia kembali fokus pada papan tulis yang hampir penuh dengan tulisan, "Prisca?" tatapan matanya langsung tertuju kepada sang gadis yang duduk paling depan letaknya di pojokkan.
"Manekin?" serunya membuat ketiga sahabatnya penasaran dan ikutan mengamati papan tulis.
"Baik. Atas pilihan kalian ibu putuskan yang akan menjadi ketua kelas adalah Prisca. Yang menjadi sekretaris adalah Marva. Yang menjadi bendahara adalah Aletha dan sesi keamanan adalah Mauren. Keputusan ini sudah sah, ya!"
"Kayak gitu dijadiin ketua kelas. Diam mulu kayak patung, bu! bisa-bisa satu kelas ketularan jadi patung!" protes Alcasta tidak terima sembari sesekali melirik Prisca.
"Ya bagus. Dari pada ketua kelasnya kamu. Satu kelas bisa nakal semua," ucap bu Griya mengundang gelak tawa seisi kelas.
"Untuk Prisca, ibu pasrahkan tanggung jawab kelas ini sama kamu. Semoga kamu amanah menjadi ketua kelas," ucap bu Griya. "Sekarang, buka buku fisika halaman 10.
------
SELESAI mata pelajaran bel kembali dibunyikan pertanda memasuki jam istirahat. Para murid mengemas alat tulisnya lalu berjalan menuju tempat yang sangat mereka rindukan, kantin.
"Alca!" teriak nyaring seorang gadis mungil yang kerap disapa Zara.
"Oper ke gue, Al!" teriak Edghar sembari mengangkat kedua tangannya siap menerima lemparan tas berwarna cokelat.
"Edghar, sini!" Zara berlari ke sana - ke mari mengikuti arah tasnya yang dilempar oleh Bastard the gang.
Embun hangat mengaburkan pandangan Zara. Sesekali ia menghapus cairan luka itu menggunakan punggung tangannya.
Ia selalu menjadi korban bully Bastard. Ia tidak mempunyai teman untuk membelanya. Terkadang mentalnya benar-benar terancam. Tetapi, ia selalu ingat bahwa ia adalah satu-satunya harapan keluarga. Itulah motivasi semangat hidupnya.
Alcasta menangkap tas Zara dari tangan Bryan, "kasian cewek gue," ucapnya lalu merangkul Zara berjalan dan menyimpan tas milik Zara.
Zara hanya kebingungan karena sikap Alcasta yang tiba-tiba berubah bahkan tidak pernah dilakukan sebelumnya.
Edghar dan Bryan saling bertatap heran. Sedangkan sang pelaku hanya memberikan senyuman tanpa beban.
"Maaf, ya, Zara. Gue suka isengin lo. Tadi terakhir, kok. Gue mau nebus kesalahan gue selama 2 tahun ini dengan cara ajak lo makan di kantin. Gimana?" ujarnya seraya menatap Zara begitu dekat yang ada di sampingnya.
"Al, l-lo gapapa?" tanya Bryan ragu.
Alcasta antusias menoleh, "oh. I'm okay. I'm fine and i'm very very no problem." Lalu Alcasta kembali melontarkan senyuman yang paling manisnya kepada Zara.
Bagaimana pun Zara adalah manusia normal dengan iris mata yang berguna dan jantung yang sehat. Berada sedekat ini dengan cowok yang dinobatkan terganteng sejagat raya membuat dirinya tidak karuan.
"Gue peka, kok. Diam tandanya setuju, kan?" lalu Alcasta menoleh ke arah Bryan dan Edghar, "ayok, makan! Gue traktir."
Seketika perasaan bingung dan heran menghilang begitu saja saat mendengar kesempatan emas berada di depan mata.
Alcasta berjalan ke arah keluar kelas dengan tangan yang setia merangkul pundak Zara.
Diikuti oleh kedua temannya, karena Arthur sudah terlebih dulu pergi ke kantin sejak bel dibunyikan.
"Itu Arthur!" seru Bryan saat menginjakkan kaki di lantai kantin. Terdengar begitu bahagia dan terlihat begitu girang seperti anak kecil yang dibelikan mainan baru.
"Alca, aku malu," ujar Zara merasa risi karena beberapa pasang mata terus menatap ke arahnya. Ia akan menjadi bahan perbincangan bahkan lebih parahnya ia akan semakin banyak yang mem-bully.
"Gak perlu malu. Lo cantik. Mereka yang liatin itu iri sama lo, Ra." Lalu Alcasta menarik kursi untuk Zara duduk, "duduk, Ra."
Uhuk!
Arthur tersedak makanan yang penuh di dalam mulutnya.
"Wah, tinggal dikit lagi," celetuk Edghar.
"Kurang ajar, lo!" bentak Arthur tidak terima.
"Banyak-banyak istigfar, thur. Udah ada yang jemput kayanya," timpa Bryan lalu mencomot bakso yang ada di mangkuk Arthur dengan tangan kosongnya.
"Jorok, gila!" murka Arthur dan seketika kehilangan nafsu makannya.
Alcasta membelai rambut Zara yang sebatas bahu, "mau pesan apa, hm?" tanyanya begitu lembut.
"Tukang ruqyah dekat sini ada gak, sih?" Edghar merasa cemas atas kesehatan Alcasta saat ini.
"Alca dari mana? Kesambet di gudang?" tanya Arthur yang ikut cemas.
"Pelet kayaknya pelet!" teriak Bryan yang dengan cepat memutuskan jawaban. "Melet Alca lo, ya!" Bryan menunjuk Zara yang juga kebingungan.
"Sut... Lebih baik diam dan nikmati makanan. Kalian pesan sepuasnya tanpa bayar sepeser pun." Alca kembali menatap Zara lalu tersenyum hangat.
Bryan segera menarik meja lain untuk digabungkan dengan mejanya. Hampir semua menu makanan dan minuman di kantin ini mereka pesan.
"Lo seriusan, Al?" tanya Arthur.
"Prank, kali," jawab Edghar menduga-duga. Sedangkan Bryan sudah menghabisi tiga piring menu makanan.
"Al, makasih kamu udah baik sama aku." Zara tersenyum senang. Akhirnya penderitaannya selama 2 tahun berakhir saat ini. Karena, baginya teman adalah hal yang berharga. Namun, terkadang kita salah mengartikan. Kita yang menganggap teman dan kenyataannya teman malah memanfaatkan.
"Gue juga makasih." Nadanya terdengar sangat dingin. Manusia spesies seperti apa ini? Mudah sekali berubah mengikuti arah angin.
"Makasih untuk apa, Al?" tanya Zara heran.
"Makasih karena lo bikin kita bisa makan enak sepuasnya," ucap Alcasta dengan senyum smirk.
Deg!
"Mungkin prank kali, ya? Karena terbesit gitu aja di otak gue saat lempar tas jelek lo!" lanjut Alcasta.
Arthur menghentikan aksi mengunyahnya lalu menatap Alcasta dan Zara secara bergantian begitu juga dengan Bryan sedangkan Edghar masih terus mengunyah menikmati keadaan tanpa ingin diganggu.
Air mata Zara kembali menggenang di pelupuk matanya. Baru saja ia bersyukur karena penderitaannya berakhir.
Ternyata takdir tidak sebercanda itu. Ia akan terus berjalan seperti air di sungai. Melewati kerikil dan menabrak bebatuan besar serta jatuh ke dasar yang lebih rendah.
Namun, akan ada saat di mana air mengalir dengan tenang dan menjadi kekaguman atas indahnya alam.
"Lo pikir gue sebagai siswa famous yang dinobatkan paling tampan ini sudi megang gadis hina kayak lo? Korban bully!" Alcasta menekankan dua kalimat terakhirnya sembari menatap tajam Zara.
"Jangan ketinggian halu lo!"
Edghar menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia bingung apa yang harus ia lakukan. Tetap makan atau berhenti.
"Jangan tinggi-tinggi, Ra. Nanti jatuh siapa yang mau tangkap? Gak ada," timpa Bryan.
"Ada-ada aja lo, Al." Arthur hanya tertawa dan memilih menghabiskan makanan miliknya. Sedangkan Edghar hanya mengikuti apa yang sahabatnya lakukan. Ia segera makan yang lahap karena takut jika Alcasta menyuruhnya untuk berhenti.
Alcasta menoleh ke samping saat merasa ada seseorang yang berdiri di dekatnya. Kepalanya mendongak membuat manik mata cokelat hazelnya membulat dengan jelas. Ia mengangkat sebelah alisnya yang tebal seolah menantang.
"Ternyata populasi banci bertambah satu," celetuk seorang siswi dengan wajah datar dan nada bicara yang dingin.
Dia adalah Prisca Birgitta. Siswi yang terkenal sebagai patung yang diberi nyawa. Wajah tanpa ekspresi dan jarang sekali berbicara.
Ia merogoh sakunya, "anggap aja gue bantu orang tidak mampu yang bisanya cuma menindas orang yang lemah!" Prisca menyimpan satu lembar uang berwarna merah di meja hadapan Alcasta.
Alcasta hanya mengangkat kedua bahunya lalu mengalihkan pandangan dari wajah Prisca lalu Prisca melenggang pergi dari hadapan mereka.
"Bayarin jangan, Al?" tanya Edghar.
"Bayarin lah," jawab Alcasta dengan nada kesal menahan amarah. Pasalnya baru kali ini seorang Prisca mengajaknya berbicara, itu pun secara menghina.
"Ngapain lo masi di sini? Gak guna!" bentak Alcasta seraya menendang kursi Zara menjauh darinya bahkan hampir saja terjungkal. Zara beranjak lalu berlari sembari menutup wajahnya.
"Miskin!" seorang siswa berseragam rapi berjalan melewati kumpulan Bastard gang. "Prisca memang panutan. Sedekah kepada yang lebih MEMBUTUHKAN." Siswi ber-name tag Alpha Centauri itu menekankan kata terakhirnya.
Alcasta berdiri dari duduknya.
"Mau gue sumbang lagi, nggak? uang gue kebanyakan soalnya." Nada bicara Alpha terdengar sangat meledek membuat Alcasta langsung memberikan hantaman di pipi tirus Alpha.
Teriakan bergema di segala penjuru kantin. Pukulan demi pukulan terdengar sangat jelas saat tulang mereka beradu. Darah yang mengalir pun tidak membuat mereka menghentikan aksi setannya.
"Arthur, Bryan, Edghar! kalian lerai mereka!" teriak salah satu dari mereka.
"Mereka bukan anak ayam. Nggak perlu dilerai," jawab Edghar.
"Memang anak ayam pernah berantem?" tanya Bryan dengan polos.
Arthur berjalan mendekati Alcasta yang kalap memukuli Alpha, "lanjut nanti. Jangan di sekolah," bisik Arthur.
Alcasta menjauhkan diri dari Alpha yang terbaring.
"Miskin!" Alcasta kembali terpancing dan langsung menghabisi Alpha tanpa ampun. Dirinya sangat tersulut emosi yang menggebu.
"Alpha!" siswi berambut sebatas bahu berlari menghampiri Alcasta dan Alpha. Ia langsung mendorong Alcasta yang berada di atas Alpha.
"Alpha! ya ampun. Kak Alcasta lo apa-apaan, sih!" siswi bernama Keyla Laura itu langsung membangunkan Alpha.
"Lo bisa jalan? Kita ke UKS." Keyla mengaitkan tangan Alpha di lehernya dan membantu Alpha untuk berjalan menuju UKS.
Setelah sampai di UKS, Keyla langsung membaringkan tubuh Alpha di atas brankar. Kemudian, ia sibuk mengambil beberapa alat medis untuk mengobati luka Alpha.
Pintu UKS terbuka lebar dan menampakkan empat sosok cewek yang salah satunya berambut panjang dengan kulit putih pucat. Raut wajahnya tampak menahan kesal. Langkah kakinya mulai mendekati arah Alpha dan Keyla.
"Siapa yang ngajarin?" lontaran kata itu keluar begitu saja dari mulut Prisca membuat Alpha terkejut.
"A-apa, kak?" tanya Alpha terbata-bata.
Prisca hanya diam menatap Alpha dalam-dalam penuh arti.
"Gue ngebela lo, salah?" tanya Alpha.
"Gue nggak pernah ajarin lo kayak gitu!" nada Prisca terdengar tinggi. Terlihat matanya memerah menahan amarah.
Alpha sedikit mengangkat kepalanya, "lo cuma punya gue. Cuma gue yang bisa lindungi lo!" jawab Alpha dengan nada yang lumayan tinggi. Ia bukan marah. Ia hanya tegas agar Prisca mengerti.
"Apa gue harus diam aja saat lo diperlakukan nggak baik?" lanjut Alpha dengan nada sedikit menurun.
"Memangnya gue kenapa? gue nggak di apa-apain. Gue cuma tolong teman gue!" terang Prisca masih dengan nada yang sama.
"Anggap aja gue juga tolong teman lo."
"Jangan so' jagoan!" sungut Prisca.
"Maaf. Tapi, Alpha nggak salah. Dia benar," bela Keyla.
"Salah. Gue nggak pernah ajarin dia kayak gitu," jawab Prisca tanpa menatap Keyla.
"Dia cuma bela kaum yang lemah, Pris," timpal Aletha.
"Dengan cara menghina orang?" pungkas Prisca menatap Aletha.
"Sudah! Alpha benar, kok. Cuma cara dia aja yang salah," simpul Marva menengahi agar suasana tidak semakin panas. "Lanjut obatin Alpha," titah Marva kepada Keyla.
Saat Keyla hendak mengobati luka Alpha. Alpha menyingkirkan tangan Keyla dengan lembut lalu ia meraih ke-dua tangan Prisca, "maafin gue, kak. Gue cuma nggak mau orang yang paling berharga dihidup gue disakitin orang lain." Cairan bening yang ditahan itu tumpah membasahi pipi Alpha yang penuh luka, "gue nggak mau lo kenapa-napa."
Seketika amarahnya hilang ntah menyurut ke mana. Hati Prisca mencair begitu saja. Perlahan nafas yang memburu mulai tenang kembali. Ia mengelus punggung tangan Alpha dengan ibu jarinya, "gue nggak kenapa-napa." Prisca memberikan senyuman yang paling langka, sangat hangat dan manis.
"Gue nggak suka liat kelakuannya. Terserah mau kayak gimana. Yang penting jangan ngerugiin orang lain," jelas Alpha mengadu.
"Jangan memandang orang terlalu rendah. Karena siapa tahu yang kita anggap buruk punya sisi baik yang lebih dari kita."
Alpha mencium punggung tangan Prisca penuh kelembutan.
Keyla menelan salivanya dengan susah payah. Jantungnya seketika melemah melihat pemandangan paling buruk yang ia saksikan. Kelopak matanya menghangat siap memberikan embun luka, "kalau memang mereka pacaran. Kenapa sikap Alpha kayak beri harapan buat gue?"
---- To Be Continued ---